JUDUL : PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MURID BIDANG
STUDI MATEMATIKA MELALUI MODEL TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENTS) DI KELAS VI SD PERUMNAS IV MAKASSAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu unsur yang sangat menentukan
pengembangan bidang pendidikan adalah kualitas interaksi edukatif yang
berlangsung pada setiap satuan atau jenjang pendidikan termasuk jenjang sekolah
dasar (SD). Interaksi edukatif tidak hanya sekedar transfer informasi melaikan
suatu proses berpikir dan bernalar, yaitu memikirkan dan mempelajari suatu
obyek. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok
(klasikal). Hasil yang diperoleh dari interaksi edukatif tersebut adalah
pengetahuan tentang obyek pembelajaran.
Bidang studi matematika sebagai salah satu
obyek pembelajaran pada satuan pendidikan tingkat sekolah dasar memainkan
peranan yang sangat penting sebagai sarana berpikir deduktif, logik dan ilmiah
dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
diperlukan guna menunjang keberhasilan murid dalam menempuh jenjang pendidikan
yang lebih tinggi di era persaingan yang kompetitif dan bersifat holistik.
Mengingat peranan matematika yang sangat
penting, maka para murid mutlak dituntut untuk menguasainya, khususnya pada
tingkat sekolah dasar. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional
juga menekankan dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika agar murid
memiliki: 1) kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan
dalam memecahkan masalah matematika ataupun masalah yang berkaitan dengan
kehidupan nyata, 2) kemampuan menggu-nakan matematika sebagai alat komunikasi,
3) kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat
dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, logis, sistematis, bersifat
objektif, dan jujur (Abdurrahman, 2003).
Oleh karena itu, diperlukan proses pembelajaran
matematika yang efektif dengan berorientasi pada peningkatan kualitas yang
progresif dan kompetitif. Berdasarkan peranan bidang studi matematika yang
begitu besar, maka upaya perbaikan dan peningkatan kualitas belajar matematika
terus dilaksanakan secara bertahap dengan sasaran yang lebih mendasar yakni
pada peningkatan keterampilan matematika, pengembangan penyelesaian masalah
matematika dan perbaikan cara belajar matematika. Jika hal tersebut dapat
dicapai, maka usaha untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan akhirnya dapat
tercapai. Harapan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah
dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab
II Pasal 3, sebagai berikut:
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Lebih lanjut berkaitan dengan upaya untuk
meningkatkan kemampuan
berhitung peserta didik, secara khusus
merupakan keinginan pemerintah dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia yang dapat pula dilihat dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab IV
Pasal 4 ayat 5, yang menyatakan bahwa “Pendidikan diselenggarakan dengan
mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga
masyarakat”.
Berangkat dari hal tersebut, maka pemikiran
seputar penataan sistem pendidikan nasional di Indonesia memang dari segi
konseptual selalu diupayakan agar menemukan bentuk yang ideal dan sistematis
untuk mencapai tujuan, namun kenyataan dalam pelaksanaan di sekolah masih
ditemukan suatu dilema, dimana sering terjadi ketidakproporsionalan antara
materi pelajaran dan tujuan dengan daya tampung murid di kelas khususnya pada
pelajaran berhitung seperti mata pelajaran matematika, sehingga beujung pada
ketidakefektifan proses pembelajaran.
Banyaknya murid di kelas terkadang tidak
dapat terlayani secara maksimal dalam hal bimbingan, arahan dan jalan keluar
dari kesulitan belajar berhitung yang dihadapi murid secara langsung pada saat
proses belajar mengajar. Padahal setiap peserta didik pada prinsipnya berhak
memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan melalui
penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Namun kenyataan sehari-hari tampak
jelas pada murid kelas V (yang akan naik ke kelas VI pada tahun ajaran 2011/2012) SD
Ipres Perumnas IV, di mana
peserta didik memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelegensi, kemampuan
fisik, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara murid
yang satu dengan murid lainnya.
Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas
tentunya akan berbeda pula dalam hal daya serap dan kemampuan murid merespon
materi pelajaran di kelas, ada yang cepat, sedang dan ada yang lambat. Di
samping itu, ketidaktepatan dalam memilih model pembelajaran dalam bidang studi
matematika akan memunculkan momok bahwa pelajaran matematika adalah sesuatu
yang sulit dan membebani siswa, hingga memunculkan sikap psikologis siswa yang
negatif yakni mudah jenuh, gairah belajar kurang, malas dan tidak termotivasi
hingga berujung pada penurunan hasil belajar murid khususnya pada bidang studi
matematika. Hal inilah yang terjadi di SDIpres Perumnas IV, di
mana masih tingginya prosentase murid yang belum memenuhi kriteria ketuntasan
minimal yakni 44,44% dari 27 murid.
Oleh karena itu, maka diperlukan penerapan
model pembelajaran matematika yang dapat menjadikan pembelajaran murid
bermanfaat dan bertujuan bagi dirinya melalui serangkaian prosedur yang
tepat, menyenangkan dan mampu menembus
kebosanan peserta didik serta dapat menimbulkan semangat kooperatif dan kompetitif
secara sehat mendorong semangat dan aktivitas belajar murid.
Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu upaya yang dianggap dapat
memecahkan masalah tersebut di atas adalah dengan menerapkan model pembelajaran
TGT (teams games tournaments) sekaligus
diharapkan dapat membantu murid mempelajari keterampilan dasar matematika dan
memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Hal inilah
yang mendorong peneliti mengambil judul Peningkatan Aktivitas Belajar Murid
Bidang Studi Matematika Melalui Model TGT di Kelas V SD.INPRES PERUMNAS IV
B. Rumusan dan Pemecahan Masalah
1.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut
diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah pembelajaran
model TGT dapat meningkatkan aktivitas belajar murid bidang studi matematika kelas
V SD.INPRES PERUMNAS IV MAKSSAR ?
2.
Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka
tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan model TGT dalam pembelajaran di
kelas. Model pembelajaran TGT diduga mampu memecahkan
permasalahan utama yakni rendahnya aktivitas belajar murid pada bidang studi
matematika karena tidak proporsionalnya antara cakupan materi, tujuan, dan
jumlah murid ditambah lagi tidak tepatnya model pembelajaran yang dikembangkan.
Secara teoritik model TGT dapat membantu guru meningkatkan
aktivitas belajar karena memanfaatkan prinsip pembelajaran kooperatif dan model
belajar kelompok yang dapat menumbuhkan semangat belajar berdasarkan dorongan
partisipatif dari teman kelompoknya.
Selanjutnya, untuk memecahkan masalah dengan
menggunakan model TGT maka dipilih ruang lingkup penelitian berbentuk
penelitian tindakan kelas dengan pembelajaran bersiklus. Jika pada siklus
sebelumnya indikator keberhasilan pembelajaran belum tercapai, maka akan
dilanjutkan pada siklus berikutnya. Indikator keberhasilan tindakan adalah jika terwujud suatu
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat dengan mudah dan
menyenangkan dalam aktivitas belajar hingga tercapai tujuan pembelajaran yang
telah dirumuskan dalam RPP.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan rumusan
pemecahan masalahnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas
belajar murid pada bidang studi matematika melalui model pembelajaran TGT di kelas V SD INPRES PERUMNAS IV MAKASSAR
D. Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian in diharapkan dapat
memberikan manfaat, antara lain:
1. Manfaat Teoritis
Sebagai landasan teoritis
untuk mengembangkan pembelajaran inovatif yang aktif, efektif dan menyenangkan
sesuai dengan paradigma konstruktivisme dan relevan dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya dalam bidang studi matematika.
2. Manfaat Praktis
a.
Bagi
murid khususnya kelas VI, melalui model pembelajaran TGT dapat membantu mewujudkan pembelajaran yang lebih memberikan
peluang kepada murid untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan
dimediasi oleh teman sebaya.
b.
Bagi
guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan sekaligus panduan
praktis dalam reformasi pembelajaran menuju pembelajaran inovatif sehingga
kompetensi guru meningkat dan berujung pada peningkatan hasil belajar murid
khususnya bidang studi matematika.
c.
Bagi
peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi setara
dan pembanding untuk penelitian pendidikan yang relevan sehingga turut menambah
khazanah model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh guru sesuai konteks.
II. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN
HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Pembelajaran Matematika
a. Pengertian
Menurut Johnson dan Myklebust (Abdurrahman,
2003: 252) bahwa “matema-tika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya
untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan
fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Lerner (Abdurrahman,
2003: 252) mengemukakan bahwa “matematika di samping sebagai bahasa simbolis
juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat
dan mengkomunikasi-kan ide mengenai elemen dan kuantitas”.
Selanjutnya Paling dalam Abdurrahman
(2003: 252) mengemukakan bahwa:
Matematika adalah suatu cara untuk menemukan
jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan
informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan
pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam
diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.
Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di
atas tentang hakikat matematika, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah
metode pemecahan masalah yang berkaitan dengan kuantitas dengan menggunakan
seperangkat pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran serta kemampuan
menggunakan hubungan-hubungan.
b.
Tujuan pembelajaran matematika
Bidang studi matematika yang diajarkan pada
satuan tingkat SD mencakup tiga cabang, yaitu: aritmetika, aljabar, dan
geometri. Terdapat banyak alasan tentang perlunya murid belajar matematika.
Cornelius (Abdurrahman, 2003: 253) mengemu-kakan bahwa:
Lima alasan perlunya belajar matematika, yakni: 1)
sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah dalam kehidu-pan
sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan genera-lisasi
pengalaman; 4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana
meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.
Adapun Cockroft (Abdurrahman, 2003: 253)
mengemukakan bahwa:
Matematika perlu diajarkan kepada murid karena: 1)
selalu digunakan dalam segala kehidupan 2) semua bidang studi memerlukan
keterampilan matematika yang sesuai; 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat,
singkat dan jelas; 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai
cara; 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran
keruangan; dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang
menantang.
Menurut Abdurrahman (2003: 253) bahwa “hendaknya kurikulum bidang studi
matematika hendaknya mencakup tiga elemen yakni: (1) konsep; (2) keterampilan;
dan (3) pemecahan masalah”.
Konsep menunjuk pada pemahaman dasar.
Sebagai contoh anak mengenal konsep segitiga sebagai suatu bidang yang
dikelilingi oleh tiga garis lurus. Pemahaman anak tentang konsep segitiga dapat
dilihat pada saat anak mampu membedakan berbagai bentuk geometri lain dari
segitiga. Adapun keterampilan menunjuk pada sesuatu yang dilakukan oleh
seseoran, sebagai contoh proses menggunakan operasi dasar dalam penjumlahan,
pengurangan, perkalian dan pembagian adalah suatu jenis keterampilan
matematika.
Sedangkan pemecahan masalah sudah
merupakan aplikasi dari konsep dan keterampilan. Sebagai contoh, pada saat murid
diminta untuk mengukur luas selembar papan, maka beberapa konsep yang terlibat
adalah bujursangkar, garis sejajar, dan sisi; dan beberapa keterampilan yang
terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan, dan mengalikan.
Dalam dunia pendidikan matematika di
Indonesia dikenal adanya matematika modern. Matematika modern diajarkan di SD
sebagai pengganti berhitung. Matematika modern lebih menekankan pada pemahaman
struktur dasar sistem bilangan daripada mempelajari keterampilan dan
fakta-fakta hafalan. Pembelajaran matematika modern lebih menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui penemuan dan eksplorasi.
c. Tahapan pembelajaran matematika
Menurut J. Bruner dalam Muslich (2007:
222) bahwa belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk
menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya”.
Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan
tersebut dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) manusia yang
mempelajarinya. Menurut Muslich (2007: 222) bahwa “proses internalisasi akan
terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan tersebut khususnya matematika
dipelajari dalam tahap enaktif, ikonik, dan tahap simbolik”.
1)
Tahap enaktif
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan
dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda konkret atau situasi
nyata.
2) Tahap ikonik
Suatu tahap pembelajaran di mana
pengetahuan direpresetasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar
atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang
terdapat pada tahap enaktif.
3) Tahap simbolik
Suatu tahap pembelajaran di mana
pengetahuan direpresentaskan dalam bentuk simbol abstrak, baik simbol verbal
(misalkan huruf, kata atau kalimat), lambang matematika, maupun lambang abstrak
lainnya.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung
secara optimal jika pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian
jika tahap belajar yang pertama dirasa cukup, murid beralih ke tahap yang
belajar yang kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representatif
ikonik. Selanjutnya kegiatan belajar tersebut dilanjutkan pada tahap ketiga,
yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus simbolik.
Dalam pembelajaran matematika salah satu
upaya yang dilakukan oleh guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TGT (teams games
tournaments) karena dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat
memberikan murid kesempatan seluas-luasnya untuk memecahkan masalah matematika
dengan strateginya sendiri. Di samping itu, model TGT menumbuhkan dinamikia
kelompok belajar secara kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar
kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi
permainan (games) yaitu dengan cara
guru bersikap terbuka, ramah, lembut, dan santun serta bernuansa ‘belajar
sambil bermain atau bermain sambil belajar’.
2. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a. Pengertian
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata
cooperative yang artinya mengerjakan
sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu
kelompok atau tim. Menurut Isjoni (2007: 15) bahwa:
Cooperative
learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja
dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif
sehingga dapat merangsang murid lebih bergairah dalam belajar.
Sedangkan menurut Suradi (2002: 36) bahwa
pembelajaran kooperatif adalah:
Suatu
model pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak hanya) membantu murid
belajar keterampilan semata, namun juga melatih murid dalam tujuan hubungan
sosial, sehingga pembelajaran kooperatif membuat murid akan lebih mudah
menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling
mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan temannya.
Lebih lanjut, Slavin (Suradi, 2002: 24)
mengemukakan bahwa “dalam pembelajaran kooperatif murid bekerja sama dalam
kelompok kecil saling membantu mempelajari suatu materi”. Pendapat serupa
diungkapkan Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa:
Dalam
pembelajaran kooperatif murid belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil
yang terdiri dari empat atau lima murid dengan kemampuan heterogen (kemampuan
tinggi, sedang, dan rendah), berbeda jenis kelamin, dan suku/ras, serta saling
membantu satu sama lain.
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran kelompok kooperatif adalah kelompok belajar
kecil dengan kemampuan akademik dan latar belakang suku dan jenis kelamin yang
bervariasi untuk saling membantu sama lain.
b. Prinsip pembelajaran
kooperatif
Terdapat empat prinsip pembelajaran
kooperatif menurut Sanjaya (2006: 244) yaitu: “prinsip ketergantungan positif,
tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka, partisipasi dan komunikasi”.
1) Prinsip ketergantungan positif
Dalam pembelajaran
kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung pada usaha
yang dilakukan setiap anggota kelompok. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh
setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan
ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota, dengan demikian semua anggota
dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
2) Tanggung jawab perseorangan
Prinsip
ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama. Oleh karena keberhasilan
kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus
memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
3) Interaksi tatap muka
Pembelajaran
kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota
kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4) Partisipasi dan komunikasi
Pembelajaran
kooperatif melatih murid untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan
berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam
kehidupan di masyarakat kelak.
c. Keuntungan pembelajaran kooperatif
Menurut Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa
“Pembelajaran kooperatif dapat membuat murid memverbalisasi gagasan-gagasan dan
dapat mendorong munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep secara
aktif”. Selanjutnya Slavin (Suradi, 2006: 6) mengemukakan keuntungan
pem-belajaran kooperatif antara lain:
1) Murid bekerjasama dalam mencapai tujuan
dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2) Murid aktif membantu dan mendorong
semangat untuk sama-sama berhasil.
3) Aktik berperan sebagai tutor sebaya untuk
lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4) Interaksi antar murid seiring dengan
peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
5) Interaksi antar murid juga membantu
meningkatkan perkembangan kognitif yang non-konservatif menjadi konservatif
(teori Piaget).
Di samping
itu, menurut Lundgren (Muslich, 2007: 230) bahwa “dalam pembelajaran kooperatif
tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi murid juga harus mempelajari
keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif”. Keterampilan
kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan
hubungan kerja dapat dibangun dengan membagi tugas anggota kelompok selama
kegiatan. Keterampilan kooperatif tersebut antara lain: keterampilan awal,
keterampilan tingkat menengah, dan keterampilan tingkat mahir.
d. Pembelajaran
kooperatif tipe TGT
Dalam perkembangannya, pembelajaran kooperatif
terdiri atas beberapa tipe, salah satu diantaranya adalah tipe TGT. Menurut
Saco (2006), dalam TGT murid memainkan permainan dengan anggota tim lain untuk
memperoleh skor tinggi bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun
guru dalam bentuk quiz menggunakan kartu bernomor yang berkaitan dengan materi
pelajaran.
Permaianan dalam pembelajaran tipe TGT
dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi
angka. Tiap murid anggota kelompok akan mengambil sebuah kartu yang telah
diberi nomor dan menjawab pertanyaan yang ada pada kartu tersebut sehingga
memberikan sumbangan bagi pengumpulan kelompoknya.
Turnamen harus memungkinkan semua murid
dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi
kelompoknya. Aturannya dapat berupa, soal yang sulit untuk anak pintar, dan
soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar
semua anak mempunyai kemungkinan memberi skor pada kelompoknya. Namun semua
soal nantinya apakah yang mudah atau sulit harus diketahui oleh seluruh anggota
kelompok.
e. Langkah-langkah
pembelajaran TGT
Penerapan model TGT dapat dilakukan dengan
cara mengelompokkan murid secara heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa
berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk
kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak
serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan
menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut,
santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan
hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas (Suherman, 2009).
Menurut Suherman (2009) bahwa jika waktunya memungkinkan TGT bisa
dilaksanakan dalam beberapa pertemuan dengan sintak sebagai berikut:
1) Buat kelompok murid secara heterogen 5
orang kemudian berikan informasi mengenai pokok materi dan mekanisme kegiatan.
2) Siapkan meja turnamen secukupnya, misal 5
meja di mana tiap meja ditempati 5 murid yang berkemampuan setara, meja I diisi
oleh murid dengan level tertinggi dari tiap kelompok asal dan seterusnya sampai
meja ke V ditempati oleh murid yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap murid
yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
3) Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen,
setiap murid mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan
mengerjakannya untuk jangka waktu tertentu (misal 3 menit). Murid bisa mengerjakan
lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa dan dinilai, sehingga
diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Murid
pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan gelar
seperti: superior, very good, good, medium.
4) Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan
seterusnya) dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan
sebutan gelar tadi, murid superior dalam kelompok meja turnamen yang sama,
begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid dengan gelar yang
sama.
5)
Setelah
selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan
penghargaan terhadap kelompok dan individual.
3. Aktivitas
Belajar
a.
Pengertian
Belajar merupakan proses untuk mengubah
tingkat laku sehingga mutlak memerlukan aktivitas. Tidak ada belajar dan hasil
belajar tanpa ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau
asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Hal tersebut
sejalan dengan yang dikemukakan Djamarah, (1994: 45) bahwa “guru yang baik akan
mampu menciptakan atau mengkreasikan lingkungan belajar siswa agar kegiatan
belajar menjadi aktif”.
Menurut Al Barry (1994: 15) bahwa aktivitas
adalah “kegiatan atau keaktifan”, sedangkan Usman (2005: 23) memberikan batasan
bahwa “keaktifan dalam belajar menunjuk pada keaktifan mental meskipun untuk
mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam
berbagai keaktifan fisik”. Sementara itu, menurut Sardiman (2006: 100) “bahwa
yang dimaksud aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik atau
mental”.
Berdasarkan beberapa definisi yang
dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah
kegiatan baik yang bersifat fisik maupun mental.
Adapun belajar merupakan istilah yang
sudah lazim di tengah masyarakat dan begitu banyak ahli atau pakar pendidikan
telah memberikan batasan dan definisi tentang belajar. Menurut Sardiman (2006:
20) bahwa “dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan
psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya”. Kemudian lebih
lanjut Sardiman (2006: 20) menyatakan bahwa “dalam arti sempit, belajar dapat
diartikan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan
sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya”. Sementara itu
menurut Sukardi (1983: 15) bahwa “belajar ialah suatu perubahan tingkah laku
sebagai hasil pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh
proses menjadi matangnya seseorang atau perubahan instinktif atau yang bersifat
temporer”.
Selanjutnya Skinner
dalam Abdullah (1989: 70) mengemukakan bahwa “Belajar adalah proses adaptasi
tingkah laku secara progresif”. Adapun menurut Abdurrahman (1993: 97) bahwa “Belajar
adalah upaya manusia memobilisasikan semua sumber daya yang dimilikinya untuk
memberikan jawaban yang tepat terhadap problema yang dihadapinya”. Lebih lanjut
definisi belajar dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 14)
sebagai “Usaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku
atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman”.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar
yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha yang
dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan pada aspek pengetahuan,
keterampilan dan perilaku melalui pengalaman dan interaksi dengan
lingkungannya.
Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan
definisi aktivitas dan belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas
belajar adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu
dalam usaha memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi
edukatif dengan lingkungannya.
b.
Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas
belajar
Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas
dalam belajar dapat dilihat dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut
ilmu jiwa. Dengan melihat unsur kejiwaan
subjek belajar dapatlah diketahui bagaimana prinsip aktivitas yang terjadi
dalam kegiatan belajar tersebut. Oleh karena dilihat dari sudut pandang ilmu
jiwa, maka sudah barang tentu yang menjadi fokus perhatian adalah komponen
manusiawi yang melakukan aktivitas dalam belajar-mengajar, yakni siswa dan
guru.
Menurut Sardiman (2006: 99) bahwa “aliran
ilmu jiwa yang tergolong modern akan menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu
yang dinamis, memiliki potensi dan energi sendiri”. Oleh karena itu, secara
alami anak didik dapat menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh
bermacam-macam kebutuhan. Anak didik dipandang sebagai organisme yang mempunyai
potensi untuk berkembang, sehingga tugas pendidik adalah membimbing dan
menyediakan kondisi agar anak didik dapat mengembangkan bakat dan potensinya.
Dalam hal ini, anak didiklah yang beraktivitas, berbuat dan harus aktif
sendiri.
Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran,
tetapi yang mengolah dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat,
kemampuan dan latar belakang masing-masing. Belajar adalah berbuat dan
sekaligus merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif. Guru hanya
memberikan acuan atau alat, sementara yang harus mendominasi aktivitas atau
kegiatan adalah murid. Hal ini sesuai dengan hakikat anak didik sebagai manusia
yang penuh dengan potensi yang bisa berkembang secara optimal apabila kondisi
mendukungnya. Sehingga yang penting bagi guru adalah menyediakan kondisi yang
kondusif tersebut.
Aktivitas yang dimaksudkan dalam proses
belajar adalah aktivitas fisik dan mental. Dalam kegiatan belajar kedua
aktivitas tersebut harus selalu berkait dan berkelindang. Sehubungan dengan hal
tersebut, Piaget dalam Sardiman (2006) menerangkan bahwa seseorang anak itu
berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir.
Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk
berbuat sendiri.
Agar siswa berperan sebagai pelaku dalam
kegiatan belajar, maka guru hendaknya merencanakan pengajaran yang membuat
siswa banyak melakukan aktivitas belajar. Menurut Ibrahim dan Syaodih (2003:
27) bahwa “aktivitas atau tugas-tugas yang dikerjakan siswa hendaknya menarik
minat siswa, dibutuhkan dalam perkembangannya, serta bermanfaat bagi masa
depannya”. Jika cara mengajar guru enak dalam pandangan siswa maka siswa akan
tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan sehingga diharapkan
akan terjadi perubahan pada tingkah laku siswa. Hal tersebut semakna dengan
yang dikemukakan Abdurrahman (1993: 109) bahwa “untuk mengaktifkan siswa
belajar, maka hendaknya pelajaran dikemas dalam suasana menantang, merangsang
dan menggugah daya cipta siswa untuk menemukan dan mengesankan”.
Lebih lanjut menurut Abdurrahman (1993:
109-110) “terdapat beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam mengembangkan
aktivitas belajar yaitu prinsip motivasi dan prinsip belajar sambil bermain”.
c.
Jenis-jenis aktivitas belajar
Pada prinsipnya aktivitas belajar
matematika adalah keterlibatan intektual emosional siswa dalam kegiatan belajar
matematika, yang meliputi asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian
pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan
dan penghayatan atau internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap.
Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan
belajar, dengan demikian di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan
aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah.
Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim
terdapat di sekolah-sekolah tradisional. Aktivitas belajar siswa yang dimaksudkan
dalam pembelajaran matematika adalah aktivitas fisik maupun aktivitas mental. Menurut
Sardiman (2006: 101) banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di
sekolah, antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:
1) Visual
activities (aktivitas
visual), yang termasuk di dalamnya membaca, menulis, memperhatikan gambar
demonstrasi, atau percobaan.
2) Oral
activities (aktivitas
lisan), seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan
pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, atau interupsi.
3) Listening
activities (aktivitas
mendengarkan), seperti mendengarkan uraian, percakapan, atau diskusi.
4) Writing
activities (aktivitas
menulis), seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket atau menyalin.
5) Drawing
activities (aktivitas
menggambar), seperti menggambar, membuat grafik atau peta, dan diagram.
6) Motor
activities (aktivitas
bergerak), seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, mereparasi model,
atau bermain.
7) Mental
activities (aktivitas
mental), seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, atau
mengambil keputusan.
8) Emotional
activities (aktivitas
emosional), seperti menaruh minat, rasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah,
atau gugup.
Jadi
dengan klasifikasi aktivitas sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa
aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Kalau berbagai macam
kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, maka sekolah akan lebih dinamis,
tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal
dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat transfer ilmu pengetahuan
teknologi dan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai hidup. Kondisi tersebut
sebaliknya merupakan tantangan yang menuntut jawaban dari para guru.
B. Kerangka Pikir
Dalam proses belajar mengajar khususnya
bidang studi matematika, sangat memungkinkan ada materi tertentu yang harus
disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran kelompok, individual dan
klasikal. Salah satu model pembela-jaran yang dapat mengintegrasikan
pembelajaran kelompok, individual, dan
klasikas sekaligus adalah model pembelajara kooperatif tipe TGT (teams games tournaments).
Kelompok belajar kooperatif adalah
kelompok belajar yang terdiri dari murid dengan kemampuan akademik yang
bervariasi untuk saling membantu sama lain. Pembelajaran matematika akan lebih
baik jika dilaksanakan dengan model pembela-jaran kooperatif, karena di samping
keuntungan akademik yang dapat diperoleh murid berupa kemampuan memahami
konsep, keterampilan dan pemecahan masalah matematika juga dapat mendorong
munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep yang aktif, juga murid
mendapat pembelajaran yang bersifat sosial.
Oleh karena itu, penggunaan model pembelajaran
TGT dapat membantu guru dalam meningkatkan
aktivitas belajar siswa. Pembelajaran tipe TGT merupakan model pembelajaran
yang memadukan prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan,
interaksi tatap muka dan komunikasi. Pembelajaran kooperatif tipe TGT
mengharuskan murid memainkan permainan dalam bentuk turnamen, setiap murid
mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya
untuk jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ciri dan prinsip pembelajaran efektif
maka tipe TGT dapat mewujudkan perihal pembelajaran tersebut, karena memberikan
kesempatan seluas-luasnya bagi murid untuk memecahkan masalah belajar dengan strategi
dan kemampuan masing-masing dan kelompok-nya. Adapun skema kerangka pikirnya
dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 1. Skema
Kerangka Pikir
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan
kajian pustaka dan kerangka pikir sebelumnya maka hipotesis tindakan dalam
penelitian ini adalah: Jika model pembelajaran TGT diterapkan, maka aktivitas
belajar murid kelas V SD Inpres
Perumnas IV Makassar
meningkat.
III. METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan Disain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode kualitatif, karena merupakan metode penelitian yang dianggap mampu menerangkan gejala atau
fenomena secara lengkap dan menyeluruh. Hal yang sama dikemukakan
Sukmadinata (2006: 94) bahwa “penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami
fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan”. Partisipan dalam
penelitian ini adalah orang-orang yang diobservasi atau diminta memberikan
data. Di samping itu, penelitian kualitatif menggunakan peneliti sebagai bagian
dari instrumen, sebagaimana dikemukakan Sukmadinata (2006: 95) bahwa “peneliti
dalam penelitian kualitatif melaksanakan peran sosial interaktif, mereka
melakukan pengamatan, interviu, mencatat hasil pengamatan dan interaksi bersama
partisipan”.
Adapun jenis penelitian yang dipilih
adalah penelitian tindakan kelas (classroom
action research), karena relevan dengan upaya pemecahan masalah
pembelajaran. Menurut Arikunto (2008: 3) bahwa “PTK merupakan suatu pencerma-tan
terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan
terjadi dalam sebuah kelas secara bersama”. Adapun dalam perspektif tujuan,
Umar (2008: 10) menyatakan bahwa “tujuan guru melakukan PTK untuk meningkatkan
dan atau perbaikan praktek pembelajaran”.
Sedangkan model PTK yang dipilih adalah
model sederhana yang ditawarkan oleh Kurt Lewin (Umar, 2008: 12). Model ini
terdiri dari empat komponen dalam satu siklus, yaitu 1) perencanaan, 2)
tindakan, 3) observasi dan 4) refleksi. Secara skematik disain PTK model Kurt
Lewin dapat dilihat pada gambar 2 berikut.
Gambar 2. Skema Disain PTK
B.
Fokus Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada murid
kelas V SD Inpres Perumnas IV
Makassar yang difokuskan pada
dua aspek yaitu:
1. Aktivitas belajar murid adalah kegiatan
fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu dalam usaha memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi edukatif dengan
lingkungannya. Indikator aktivitas belajar, antara lain:
- Kehadiran dan semangat siswa dalam KBM di kelas sebagai bagian dari aktivitas emosional (emotional activities)
- Memperhatikan penjelasan guru sebagai aktivitas visual (visual activities).
- Keaktifan berdiskusi sebagai aktivitas lisan (oral activities).
- Antusiasme mendengarkan uraian sebagai aktivitas mendengarkan (listening activities).
- Menulis atau menyalin informasi yang penting dari guru sebagai aktivitas menulis (writing activities).
- Partisipasi dalam kelompok sebagai aktivitas bergerak (motor activities).
- Kemampuan memecahkan soal sebagai aktivitas mental (mental activities).
2. Pembelajaran TGT adalah pembelajaran kooperatif
dengan indikator-indikator: pengelompokan murid secara heterogen, tugas tiap
kelompok bisa sama bisa berbeda, pemecahan masalah melalui kerja sama dalam
bentuk kerja individual dan diskusi, terjadi dinamika secara kohesif dan kompak,
kompetisi antar kelompok dalam suasana diskusi nyaman dan menyenangkan karena dalam
bentuk permainan (games), dan guru
bersikap terbuka, ramah, lembut, dan santun.
C. Setting
dan Subjek Penelitian
Rencana lokasi penelitian terletak di SD SD
Inpres Perumnas IV Kecamatan
Rappocini yang berjarak ± 500
M dari Kampus UNM Tidung. Di pilihnya lokasi penelitian ini karena hasil
observasi menunjukkan rendahnya hasil belajar matematika, di samping itu tidak
efektifnya model pembelajaran yang selama ini dikembangkan. Adapun sasaran/subjek
dalam penelitian ini dan keadaan guru di SD. SD Inpres Perumnas IV dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Keadaan Murid SD Inpres Perumnas IV
Kelas
|
Siswa
|
Jumlah Siswa
|
Keterangan
|
|
L
|
P
|
|||
I
|
13
|
17
|
30
|
|
II
|
16
|
20
|
36
|
|
III
|
11
|
14
|
25
|
|
IV
|
8
|
10
|
18
|
|
V
|
10
|
15
|
25
|
|
VI
|
9
|
8
|
17
|
|
Sumber SD Inpres Perumnas IV tahun 2011
Tabel keadaan Guru dan Pegawai SD Perumnas IV
NO
|
NAMA
|
JABATAN/GURU
KELAS
|
ALAMAT RUMAH
|
1.
2.
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
|
ST.ADRIYANI,S.Pd
HJ.ASNI
M.SIRI
YULIANA
TIMBONGA
HETI
BILA,S.Pd
MERYANTI,S.Pd
ST.MASDARIAH,S.Pd
ASTRAYANA,A.Ma
ST.HALIJAH,S.Pd
ROSNIAR,A.Ma
Drs.MUSTAFA
FITRIANI
NIRWANA
NAWIR
KAMARUDDIN
|
Kepala sekolah
Guru Kelas I
Guru Kelas II
Guru Kelas II
Guru Kelas III
Guru Kelas IV
Guru Kelas V
Guru Kelas VI
Guru Agama Islam
Guru Penjaskes
Guru Bhs.Inggris
Bujang Sekolah
Satpam
|
BTN.JENETALLASA BLOK A4/51
R.D.PERUMNAS IV
TIDUNG II NO.2/5
TODDOPULI VI
TIDUNG MARIOLLO’
MON.EMMY SAELAN Lr.5/59A
BTN.JENNETALLASA BLOK A4/51
A.TONRO LR.IVB NO.48
TAMALATE I NO.2
DR.LEIMENA LR.9/109 E
TALLASALAPANG
MON.EMMY SAELAN
MON.EMMY SAELAN
|
Prosedur PTK
Sesuai dengan jenis penelitian yang
dilakukan yakni penelitian tindakan kelas, maka rencana tindakan yang akan
dilakukan terdiri atas dua siklus. Di mana setiap siklus dilaksanakan
masing-masing dua kali pertemuan. Prosedur kegiatan dalam setiap siklus
meliputi perencanaan, tindakan, observasi atau evaluasi dan refleksi. Di mana
dalam tahap perencanaan sampai melakukan tindakan terdapat empat langkah utama
yang akan dilakukan yaitu: identifikasi masalah, analisis dan perumusan
masalah, perencanaan penelitian tindakan kelas, dan melakukan penelitian
tindakan kelas. Secara lebih terperinci, prosedur penelitian tindakan pada
siklus pertama dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Perencanaan dan Persiapan
Sebelum pelaksanaan tindakan,
dilakukan persiapan berupa penyiapan perangkat pembelajaran diantaranya
menelaah silabus dan program pembelajaran, menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), menyiapkan materi pembelajaran, menyiapkan kartu turnamen, menyusun
kuisioern persepsi murid, format observasi dan instrumen tes hasil belajar.
2. Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan
pada tahap ini implementasi tindakan pembelajaran model TGT. Adapun prosedur
pelaksanaan tindakan sebagai berikut:
a. Kegiatan awal
1) Peneliti memberikan motivasi dan apersepsi
serta menyampaikan pengantar tentang tujuan belajar dengan model TGT.
2) Peneliti menjelaskan prinsip dan
aturan-aturan pembelajaran model TGT.
b. Kegiatan inti
1) Sebelum permainan dimulai, guru membagi murid
ke dalam 5 kelompok asal, di mana tiap kelompok terdiri dari lima orang yang
bersifat heterogen.
2) Guru bersama murid menyusun meja dalam 5
kelompok turnamen kemudian diberi tanda meja I, II, III, IV dan V.
3) Selanjutnya guru memberikan kesempatan
kepada masing-masing kelompok untuk berdiskusi menentukan anggotanya yang
ditempatkan pada masing-masing meja turnamen.
4) Guru menyediakan kartu quiz pada tiap meja
turnamen dan mempersilahkan murid untuk menempati meja turnamen.
5) Turnamen dimulai di mana murid mengambil kartu soal yang telah
disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu yang telah
ditentukan (3 menit). Murid dapat mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya
diperiksa dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu
dan sekaligus skor bagi kelompok asalnya. Murid pada tiap meja tunamen diberi sebutan
(gelar) superior, very good, good,
medium sesuai dengan skor yang diperolehnya.
6) Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan seterusnya),
dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan
gelar tadi, murid superior dikelompokkan dalam meja turnamen yang sama, begitu
pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid dengan gelar yang sama.
7) Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor
individual, berikan penghargaan terhadap kelompok dan individu murid.
c. Kegiatan akhir
1) Peneliti bersama murid membuat kesimpulan terhadap
materi yang telah dipelajari.
2) Pada akhir siklus pertama peneliti
memberikan tes evaluasi hasil belajar dan peneliti memberikan kepada murid
kuisioner persepsi.
3. Observasi
Selama pelaksanaan tindakan,
maka dilakukan pemantauan terhadap aktivitas murid sekaligus mengamati tindakan guru dengan
menggunakan format observasi. Untuk memudahkan pelaksanaannya peneliti dibantu
oleh teman sejawat dalam mengamati kegiatan yang berlangsung sambil mengisi
daftar observasi yang telah disiapkan.
4. Refleksi
Peneliti bersama dengan teman sejawat
melakukan diskusi dan refleksi pada akhir siklus terhadap hal-hal yang diperoleh
baik dari hasil observasi, hasil kuisioner persepsi murid maupun hasil tes
siklus satu. Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus pertama akan
diperbaiki pada siklus selanjutnya.
Siklus kedua dilakukan dengan tetap
mengacu pada prosedur kegiatan yang sama pada siklus pertama. Hanya saja, pada
siklus kedua dilakukan revisi tindakan yang berbeda dengan siklus pertama.
Revisi tindakan senantiasa bertolak pada upaya perbaikan atau koreksi terhadap
kekurangan yang diperoleh pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mencapai
hasil yang lebih maksimal sebagaimana diharapkan.
E.
Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi
Teknik observasi yang dipilih
karena sesuai dengan obyek yang dinilai yakni perilaku atau aktivitas murid
dalam pembelajaran, sebagaimana dikemukakan Safari (2003: 53) bahwa “pengamatan
merupakan suatu alat penilaian yang pengisiannya dilakukan guru atas dasar
pengamatan terhadap perilaku murid”. Instrumen pengamatan yang digunakan berupa
lembar observasi model checklist (√),
yang dikembangkan sendiri oleh peneliti (lembar observasi terlampir).
2. Tes
Teknik tes dipilih untuk
mengukur hasil belajar kognitif murid, sebagaimana dikemukakan Sudjana, N.
(1995: 35) bahwa “tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil
belajar murid, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan
bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pengajaran”. Tes yang diberikan dalam
bentuk tertulis model isian (lembar tes dan LKS terlampir).
3. Kuisioner
Teknik kuisioner yang
dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kuisioner persepsi yang dimaksudkan
untuk mengetahui persepsi atau tanggapan murid terhadap model pembelajaran TGT
yang dikembangkan apakah menyenangkan bagi mereka atau tidak.
Adapun prosedur pengumpulan dan pengolahan
data, sebagai berikut:
1. Perizinan penelitian
Pengurusan perizinan dilakukan pada lembaga-lembaga yang terkait dalam hal
ini FIP UNM, Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Pemerintah
Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Kesbang/Linmas Kabupaten Luwu, dan izin
penelitian data dari Kepala SD Inpres
Perumnas IV Makassar.
2. Pelaksanakan pengumpulan data, di mana
data aktivitas belajar murid diperoleh selama pembelajaran berlangsung melalui
observasi, sedangkan data hasil belajar untuk kemampuan kognitif diperoleh
dengan memberikan tes evaluasi pada akhir siklus, dan data persepsi atau
tanggapan murid diperoleh pada akhir siklus.
3. Pengolahan data dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
- Verifikasi data, dimaksudkan untuk menyeleksi atau memilih data yang memadai untuk diolah dengan cara memeriksa kelengkapan pengisian lembar tes maupun kuisioner baik identitas maupun jawabannya.
- Scoring, dimaksudkan untuk memberi skor atas jawaban murid pada instrumen tes yang telah diisi oleh murid.
- Tabulating, dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengolahan dan analisis data lebih lanjut, terlebih dahulu data dimasukkan dengan menggunakan tabel.
F.
Teknik Analisis Data dan Indikator
Keberhasilan
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif deskriptif.
Di mana untuk menghitung nilai rata-rata hasil tes dan persentase aktivitas murid,
maka digunakan persamaan-persamaan sebagai berikut:
1.
Mencari rata-rata hitung sebagaimana dalam Tiro, (1999: 138):
.....................................................
(1)
Keterangan:
= Nilai rata-rata
hitung
X = Nilai hasil tes murid
n = Jumlah murid
2.
Persentase skor pencapaian, sebagaimana dalam Sugiyono,
(2001: 40):
…...........................................
(2)
Keterangan:
P =
Persentase
f =
Frekuensi
n =
Jumlah sampel/responden
Indikator keberhasilan adalah jika nilai
akhir tes hasil belajar murid telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM)
yang berlaku di SD Inpres Perumnas IV. Kemudian untuk
mengukur tingkat hasil belajar ke dalam skala deskriptif, maka digunakan norma
absolut skala lima sebagai pedoman sebagaimana dalam Safari (2003: 78):
1.
Hasil belajar dikategorikan sangat tinggi (A) dengan nilai 8,5–10.
2.
Hasil belajar dikategorikan tinggi (B)
dengan nilai 7,0–8,4.
3.
Hasil belajar dikategorikan cukup (C)
dengan nilai 5,5–6,9.
4.
Hasil belajar dikategorikan kurang (D)
dengan nilai 4,0–5,4.
5.
Hasil belajar dikategorikan sangat
kurang (E) dengan nilai 0,0–3,9.
Sedangkan pengukuran persentase aktivitas belajar murid dalam skala
deskriptif mengacu pada Safari (2003: 54), yakni:
1.
Aktivitas belajar dikategorikan sangat
baik (A) dengan persentase 85%–100%.
2.
Aktivitas belajar dikategorikan baik (B)
dengan persentase 70%–84%.
3.
Aktivitas belajar dikategorikan cukup
(C) dengan persentase 55%–69%.
4.
Aktivitas
belajar dikategorikan kurang (D) dengan persentase 40%–54%.
5.
Aktivitas
belajar dikategorikan sangat kurang (E) dengan persentase 0%–39%.
IV. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Tabel 3. Rencana Jadwal Pelaksanaan PTK
No
|
Jenis Kegiatan
|
Waktu Pelaksanaan / Minggu
|
|||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
10
|
11
|
12
|
||
A.
|
Persiapan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Pendekatan/monitoring
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Penyusunan proposal
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pengembangan instrumen
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
Lanjutan Tabel 3.
4.
|
Perizinan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Pertemuan awal dengan Teman Sejawat dan Kep. Sekolah
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
B.
|
Pelaksanaan PTK
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Pelaksanaan Siklus I
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Penyusunan
Draft Laporan Siklus I
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Pelaksanaan
Siklus II
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
4.
|
Penyusunan
Draft Laporan Siklus II
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
5.
|
Penyempurnaan akhir laporan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
C.
|
Evaluasi Hasil PTK
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
1.
|
Seminar hasil PTK
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
2.
|
Revisi dan penggandaan
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
3.
|
Copy master (Burning CD)
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
V. DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Cetakan Pertama.
Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Arikunto, S., Supardi, & Suhardjono.
2008. Penelitian Tindakan Kelas.
Cetakan Kelima. Jakarta: Bumi Aksara.
Anonim, 2007. Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan
Nasional) Tahun 2003. Cetakan Keempat. Jakarta: Sinar Grafika.
Isjono. 2007. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.
Muslich, M.
2007. KTSP Pembelajaran Berbasis
Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.
Muslimin & Umar, A. 2008. Panduan Penulisan Skripsi.
Makassar: Prodi PGSD FIP UNM.
Saco. 2006. Cooperatif Learning. (online).
(http://fromlearningftoteaching. blogspot.com. diakses 17 Oktober 2008).
Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta:
Kencana Media Group.
Safari, 2003. Evaluasi Pembelajaran.
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar
dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan.
Sofa. 2008. Kupas Tuntas Metode Penelitian
Kualitatif.
(Online). http//www.pakdesofa.blogspot.com., (diakses tanggal 07 Juli
2009).
Sudjana, N.
1995. Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar. Cetakan Kelima. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung:
Alfabeta.
Suherman, E. 2009. Model
Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Murid. Educare;
Jurnal Pendidikan dan Budaya. ISSN 1412-579x, (Online) http://educare.e-fkipunla.net,
(diakses tanggal 30 Juni 2009).
Sukmadinata, N.S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta:
PT. Remaja Rosdakarya.
Suradi. 2002.
Pemilihan Model-model Pembelajaran dan
Penerapannya di Sekolah. Semarang: Pendidikan Matematika FMIPA UNNES.
Tiro, M.A.
1999. Dasar-dasar Statistika. Ujung
Pandang: Badan Penerbit UNM.
________.
2007. Menulis Karya Ilmiah untuk
Pengembangan Profesi Guru. Makassar: Andira Publisher.
Umar, A. 2008.
Penelitian Tindakan Kelas: Pengantar Ke
Dalam Pemahaman Konsep dan Aplikasi. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran; Landasan dan
Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
Bismillah... Thanks for information. sangat membantu dalam menambah wawasan dan referensi sy... :)
BalasHapus