dari kehidupan nyata sehari-hari.
"Nenek saya ingin saya
memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengijinkan saya sekolah," demikian Everett Reimer mengutip
kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian Pendahuluan bukunya School is
Dead. Dari judul yang dipilihnya, dan diperkuat dengan kalimat pertama itu,
nampak benar ketajaman kritik Reimer terhadap lembaga persekolahan, baik dari
tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Bagi mereka yang tahu bahwa Reimer
adalah rekan Ivan Illich, hal itu mungkin akan mengurangi rasa terkejut dalam
mempelajari kritik Reimer terhadap pembelajaran di persekolahan. Sebab Illich
sendiri pada saat yang hampir bersamaan menulis sebuah buku yang tak kalah
menyeramkan judulnya: Deschooling Society. Apalagi bagi mereka yang
terbiasa dengan gagasan Paulo Freire, ide-ide Reimer menjadi 'generik' dalam
arti 'biasa-biasa' saja.
Pemikiran-pemikiran
kritis Reimer, Illich, dan Freire itulah agaknya yang mempengaruhi Roem
Topatimasang ketika sedang kuliah di IKIP Bandung tahun 80-an. Dalam banyak
makalahnya yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku kecil
beberapa saat setelah runtuhnya "Sekolah Orde Baru", Topatimasang
berusaha mengingatkan hakikat dan peran sekolah yang telah menyimpang jauh dari
sejarah awalnya. Namun suara kritis Topatimasang dianggap bagai angin lalu oleh
birokrat pendidikan yang sedang berkuasa saat itu, sehingga tidak pernah ada
wacana yang mengangkat persoalan dasar pendidikan di tanah air. "Sekolah
Orde Baru" yang dimanajemeni oleh seorang Smiling General itu
memang sukses memasung segala bentuk kreativitas dan sikap kritis anak-anak
bangsa lewat sistem pendidikan yang dipolitisir untuk menopang status quo.
Benarkah sekolah sudah mati?
Mungkinkah ada masyarakat tanpa sekolah? Mengapa pendidikan hakikatnya adalah
upaya pembebasan? Bagaimana mungkin pendidikan dapat menindas? Sejauh mana
sekolah telah menjadi candu? Demikian beberapa pertanyaan mendasar yang selama
Orde Baru tidak pernah dijawab secara memuaskan. Tulisan ini tidak bermaksud
memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Yang
ingin dilakukan adalah menelusuri asal usul sekolah dan secara ringkas, melihat
bagaimana dunia persekolahan itu tumbuh dan berkembang di Indonesia, lalu
mencoba memetakan persoalan dasar pendidikan yang kita hadapi saat ini, serta
apa 'peluang' yang perlu kita tanggapi untuk mereformasi sistem pendidikan ke
arah yang lebih baik, yang lebih berkesesuaian dengan setiap upaya meningkatkan
harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
dunia.
Sejarah "Pendidikan" atau "Pengajaran"?
Sekolah atau school dapat
dilacak dari kata Latin seperti skhole, scola, scolae, yang dipergunakan
sekitar awal abad XII. Arti harafiahnya adalah "waktu luang" atau
"waktu senggang". Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak
lain adalah leisure devoted to learning (waktu luang yang digunakan
secara khusus untuk belajar). Dan bila dewasa ini murid-murid yang bersekolah
'dirampok' waktu senggangnya oleh berbagai kursus dan les privat tambahan untuk
'melengkapi' pelajaran sekolah, maka itulah pertanda telah terjadi penyesatan
dalam masyarakat mengenai fungsi sekolah. Kapankah persekolahan dalam arti
mulai sekolah dasar hingga universitas sebagaimana kita kenal dewasa ini,
dimulai? Dan siapakah para 'praktisi' persekolahan itu pada awalnya? Hal ini
membawa kita pada pertanyaan mengenai sejarah pendidikan. Deskripsi yang
diberikan Everett Reimer berikut ini mungkin dapat sedikit menolong proses
pemahaman mengenai sejarah pendidikan:
Pendidikan
timbul dari praktik pemujaan dan pemerintahan. Tanah asalnya ialah halaman kuil
dan praktisi-praktisinya yang mula-mula adalah pendeta-pendeta khusus. Mungkin
menulis itu sendiri juga diketemukan oleh ahli-ahli tersebut. Jadi para dukun
dan pendeta ini berada dalam garis pusat pembentukan, bukan saja pembentukan
guru dan sekolah, melainkan juga evolusi manusia. Otak, tangan dan lidah,
kelompok desa dan kota, tenung, agama, semuanya adalah tonggak-tonggak pedoman
dalam perkembangan fisik, sosial, dan spiritual manusia. Para ulama agama
modern telah mewarisi (dari para dukun negara-negara sepupunya) suatu campuran
antara ilmu tenung, agama, seni dan ilmu yang mulai mereka uraikan dan
spesialisasikan. Telah cukup dikenal bahwa bukan hanya menulis, tetapi juga
ilmu pasti, astronomi dan kimia, melukis dan bersajak (puisi) pada mulanya
tersusun di halam-halaman kuil orang-orang Mesir Sumer dan kasta-kasta yang
berkuasa, yang memadukan fungsi ulama dan raja. Pengajaran seni (art) yang
pertama-tama diformalkan ini, yang masih merupakan bagian terbesar dari
kurikulum modern, tentulah dulu merupakan jenis pengajaran guru dan sistem
magang. Pada zaman dahulu pun tentu ada jenis pengajaran antar orang-orang yang
sederajat yaitu kalau seseorang menularkan penemuan atau kemampuannya kepada
orang lain. Disini letak satu di antara dua akar utama sekolah modern, letak
asal mula pengetahuan yang sistematis. Akar ini tidak muncul lagi, letak bentuk
yang menonjol secara institusional. Akar lainnya yang jauh lebih sederhana,
muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun
untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang kepada spekulasi
bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas
ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer.
Plato dan Aristophanes adalah
orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan
sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah itu hanya
merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang dititikberatkan pada
latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca, menulis dan
berhitung boleh dikatakan hanya sebagai pertimbangan sampingan. Aslinya
pendidikan di Athena bersifat tutorial, suatu aspek hubungan perorangan yang
seringkali juga bersifat erotik. Ketika Athena menjadi lebih demokratis dan
jumlah muridnya mulai lebih banyak dari gurunya, maka secara berangsur-angsur
hubungan tutorial digantikan dengan pengajaran kelompok/klasikal.
Uraian Reimer di atas mungkin
memberikan pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan di Mesir Kuno, yakni
sekitar tahun 3000 hingga 500 sebelum Masehi. Sementara di India, pada pendeta
mengajarkan Kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar
tahun 1200 sebelum Masehi. Di Cina, pendidikan formal (pengajaran) diperkirakan
muncul pada masa Dinasti Zhou berkuasa, yakni antara tahun 770-256 sebelum
Masehi. Konfusius, Mensius, Laotzu, termasuk di antara guru-guru pertama di
Cina Kuno.
Di Yunani Kuno, tempat asal
Filsafat Barat, kaum Shopis mulai mengajar di Athena sekitar tahun 400 sebelum
Masehi. Socrates, yang meninggal tahun 399 sebelum Masehi, boleh jadi orang
pertama yang mengatakan bahwa, "true knowledge existed within everyone
and needed to be brought to consciousness". Dengan dalil ini
pendekatan Socrates adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian (probing
questions) untuk memicu pikiran-pikiran murid-muridnya guna memahami makna
kehidupan, kebenaran, dan keadilan secara lebih mendalam (inside out method).
Sepeninggal Socrates, Plato
mendirikan Academy di tahun 387 sebelum Masehi, dan 52 tahun berikutnya
Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri bernama Lyceum, juga di
Athena. Lalu di abad yang sama, Isocrates mengembangan metode pendidikan untuk
mempersiapkan para orator yang bekerja di kantor-kantor pemerintah. Ia diyakini
ikut mempengaruhi secara langsung para ahli pendidikan Romawi seperti Cicero,
penulis De Oratore, dan Quintillian, yang membagi pelajaran-pelajaran
secara khusus berdasarkan pentahapan di awal tahun Masehi. Pada tahap primary
school diajarkan soal membaca dan menulis. Lalu di secondary school
para budak Yunani (dipanggil pedagogues) ditugaskan untuk mengajar tata
bahasa Latin dan Yunani kepada anak-anak Romawi waktu itu (khususnya
laki-laki). Dan akhirnya sedikit anak-anak laki-laki yang kaya masuk ke sekolah
untuk belajar menjadi orator dalam rangka persiapan agar mereka kelak menjadi
pemimpin-pemimpin di pemerintahan dan administrasi negara (seperti pegawai
negeri).
Pada masa awal Masehi,
orang-orang Yahudi juga telah memberikan pengajaran di tempat yang disebut
Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika
kekristenan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan
bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran yang utamanya
mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan
pemimpin-pemimpin agama yang mengajar di gereja. Pada masa itu wanita masih
sangat sedikit memperoleh kesempatan untuk ikut belajar bersama anak-anak
laki-laki sebayanya.
Sekitar abad X-XI, pendidikan
Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan Barat. Melalui interaksi
kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama di Afrika Utara dan
Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin tentang matematika, ilmu
alam, ilmu pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang menjadi fondasi dari
aritmetika di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai kontribusi terpenting
dari pendidikan Islam dari Arab itu.
Kita tahu bahwa sekitar abad
XIII telah dikenal adanya University of Paris, tempat dimana Thomas Aquinas
mengajar. Lalu pada masa Renaisance di abad XIV dan XV dikenal tokoh-tokoh
penulis seperti Dante Aleghieri, Petrarch, dan Giovanni Boccaccio. Desiderius
Erasmus dari Jerman juga memberikan pengaruh besar dalam sistem pendidikan masa
itu, terutama dalam perkembangan ilmu arkeologi, astronomi, mitologi, sejarah,
dan Kitab Suci (Scripture).
Penemuan mesin cetak
Gutenberg di pertengahan Abad XV membuat buku makin mudah tersedia dan pada
gilirannya mengakselerasi proses pembelajaran di dunia. Ditambah lagi dengan
arus Reformasi Luther, Calvin, dan Zwingli, yang melahirkan Protestantisme,
peran orangtua kembali ditekankan sebagai pendidik utama anak-anaknya, terutama
dalam membentuk karakter mereka sebagai "orang-orang beriman". Dan
karena Protestanisme tidak menabukan studi Kitab Suci oleh kaum awam, seperti
Roma Katholik kala itu, maka peran Protestantisme dalam konteks pendidikan
Barat tidak dapat disepelekan. Pada masa ini pula, dimulai dari reformis Jerman
bernama Melanchthon, pemerintah dianggap bertanggung jawab untuk mensupervisi
sekolah-sekolah dan memberikan lisensi untuk mengajar.
Selanjutnya abad XVII hingga
XIX tercatat beberapa nama tokoh yang berpengaruh dalam pendidikan Barat
seperti antara lain:
Comenius atau Jan Komensky,
John Locke di Inggris, Benyamin Franklin dan Thomas Jefferson di Amerika,
Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, Jean Jacques Rousseau di Perancis, dan
lainnya. Dalam rentang waktu 200 tahun ini pula muncul perdebatan tentang perlu
tidaknya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, khususnya di Eropa (Kristen)
pada pertengahan abad XIX. Pemerintahan tertentu, seperti Belanda waktu itu,
bahkan menetapkan sekolah yang bercirikan agama tidak akan mendapatkan subsidi
dari pemerintah.
Yang juga menarik untuk
disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali
membuka kindergarten di Blankenburg, Jerman, dengan kurikulum berisi
pelajaran menyanyi, cerita, permainan, hadiah, dan occupations, di tahun
1837. Konsep kinderganten Froebel ini kemudian dibawa ke Amerika oleh
Margarethe Meyer Schurz dengan membuka taman kanak-kanak berbahasa Jerman di
Watertown, Wisconsin, tahun 1855. Tahun 1860 Elizabeth Peabody melanjutkan hal
ini dengan membuka sekolah sejenis berbahasa Inggris dan juga mengajar serta
melatih para pengajar taman-kanak-kanak di Boston. William Torrey Harris
memberikan kontribusi ketika memasukkan taman kanak-kanak sebagai bagian dari
sekolah umum di Amerika.
Pada awal abad XX, Ellen Key,
seorang feminis, penulis, dan ahli pendidikan Swedia, ikut mempengaruhi sejarah
pendidikan dunia. Bukunya The Century of the Child (1909) menawarkan
pendekatan pendidikan yang menekankan kebutuhan dan potensi anak ketimbang
kebutuhan masyarakat atau prinsip-prinsip agama. Ia antara lain diikuti oleh
ahli pendidikan Jerman Herman Liets dan Georg Michael Kerschensteiner, ahli
pendidikan dan filosof Inggis Bertrand Russel, dan Maria Montessori dari
Italia. Konsep pendidikan anak yang dikembangkan Montessori kemudian
mempengaruhi Amerika dan kembali menarik perhatian ahli pendidikan di sana pada
tahun 1950-an. John Dewey di Amerika dan Jean Piaget di Swiss juga memberikan
pengaruh terhadap sistem pendidikan Barat. Dan setelah itu Paulo Freire, Ivan
Illich, dan Everett Reimer, mulai mengkritisi sistem pendidikan yang berkembang
di banyak negara waktu itu.
Dari sejarah pendidikan yang
utamanya dirangkum dari Encarta Encyclopedia itu, apa yang sekarang kita kenal
sebagai sekolah dan universitas boleh jadi berakar dari Academy-nya
Plato dan Lyceum-nya Aristoteles. Namun, dalam artinya yang lebih luas
pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam
bentuknya yang informal dan nonformal (pelatihan), pendidikan diberikan oleh
orangtua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi
(sharing) informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh,
membuat senjata dan perlengkapan hidup lainnya, belajar bahasa, dan nilai-nilai
serta perilaku yang mengekspresikan ritus-ritus dalam budaya mereka
masing-masing. Apa yang kemudian disebut sebagai "sejarah pendidikan"
tadi lebih menunjukkan pada sejarah "pengajaran" atau sejarah
"persekolahan" yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah ilmu
pengetahuan modern. Dan kalau itu yang maksud, maka rujukan kepada
filosof-filosof Athena sebagai pelopornya dapatlah diterima.
Demikianlah sejarah
pendidikan formal atau pengajaran dan persekolahan memperlihatkan bahwa para
praktisi pendidikan pada awalnya adalah kaum pendeta, dukun-dukun, ulama, dan
mereka yang memiliki posisi kepemimpinan atau manajerial dalam organisasi
keagamaan dan pemerintahan. Praktisi pendidikan itu awalnya merupakan ahli-ahli
ilmu agama (teolog), ahli-ahli ilmu pengetahuan modern (filosof, cendikiawan)
dan negarawan serta pejabat administrasi pemerintahan (ambtenaar,
pegawai negeri). Meski budak-budak Yunani pada masa penjajahan Romawi Kuno juga
dilibatkan, namun secara bertahap peran mereka digantikan oleh orang-orang yang
lebih "terpelajar" dan "berkuasa".