Jumat, 27 Januari 2012

pembelajaran: Melacak Asal Usul Sekolah

 Kita harus berhenti mengasingkan sekolah
dari kehidupan nyata sehari-hari.
"Nenek saya ingin saya memperoleh pendidikan, karenanya, ia tidak mengijinkan saya sekolah," demikian Everett Reimer mengutip kalimat Margaret Mead ketika menulis bagian Pendahuluan bukunya School is Dead. Dari judul yang dipilihnya, dan diperkuat dengan kalimat pertama itu, nampak benar ketajaman kritik Reimer terhadap lembaga persekolahan, baik dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Bagi mereka yang tahu bahwa Reimer adalah rekan Ivan Illich, hal itu mungkin akan mengurangi rasa terkejut dalam mempelajari kritik Reimer terhadap pembelajaran di persekolahan. Sebab Illich sendiri pada saat yang hampir bersamaan menulis sebuah buku yang tak kalah menyeramkan judulnya: Deschooling Society. Apalagi bagi mereka yang terbiasa dengan gagasan Paulo Freire, ide-ide Reimer menjadi 'generik' dalam arti 'biasa-biasa' saja.
 Pemikiran-pemikiran kritis Reimer, Illich, dan Freire itulah agaknya yang mempengaruhi Roem Topatimasang ketika sedang kuliah di IKIP Bandung tahun 80-an. Dalam banyak makalahnya yang kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi buku kecil beberapa saat setelah runtuhnya "Sekolah Orde Baru", Topatimasang berusaha mengingatkan hakikat dan peran sekolah yang telah menyimpang jauh dari sejarah awalnya. Namun suara kritis Topatimasang dianggap bagai angin lalu oleh birokrat pendidikan yang sedang berkuasa saat itu, sehingga tidak pernah ada wacana yang mengangkat persoalan dasar pendidikan di tanah air. "Sekolah Orde Baru" yang dimanajemeni oleh seorang Smiling General itu memang sukses memasung segala bentuk kreativitas dan sikap kritis anak-anak bangsa lewat sistem pendidikan yang dipolitisir untuk menopang status quo.
Benarkah sekolah sudah mati? Mungkinkah ada masyarakat tanpa sekolah? Mengapa pendidikan hakikatnya adalah upaya pembebasan? Bagaimana mungkin pendidikan dapat menindas? Sejauh mana sekolah telah menjadi candu? Demikian beberapa pertanyaan mendasar yang selama Orde Baru tidak pernah dijawab secara memuaskan. Tulisan ini tidak bermaksud memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Yang ingin dilakukan adalah menelusuri asal usul sekolah dan secara ringkas, melihat bagaimana dunia persekolahan itu tumbuh dan berkembang di Indonesia, lalu mencoba memetakan persoalan dasar pendidikan yang kita hadapi saat ini, serta apa 'peluang' yang perlu kita tanggapi untuk mereformasi sistem pendidikan ke arah yang lebih baik, yang lebih berkesesuaian dengan setiap upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia-manusia Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia.

Sejarah "Pendidikan" atau "Pengajaran"?
Sekolah atau school dapat dilacak dari kata Latin seperti skhole, scola, scolae, yang dipergunakan sekitar awal abad XII. Arti harafiahnya adalah "waktu luang" atau "waktu senggang". Dengan demikian agaknya bersekolah pada awalnya tak lain adalah leisure devoted to learning (waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar). Dan bila dewasa ini murid-murid yang bersekolah 'dirampok' waktu senggangnya oleh berbagai kursus dan les privat tambahan untuk 'melengkapi' pelajaran sekolah, maka itulah pertanda telah terjadi penyesatan dalam masyarakat mengenai fungsi sekolah. Kapankah persekolahan dalam arti mulai sekolah dasar hingga universitas sebagaimana kita kenal dewasa ini, dimulai? Dan siapakah para 'praktisi' persekolahan itu pada awalnya? Hal ini membawa kita pada pertanyaan mengenai sejarah pendidikan. Deskripsi yang diberikan Everett Reimer berikut ini mungkin dapat sedikit menolong proses pemahaman mengenai sejarah pendidikan: 

Pendidikan timbul dari praktik pemujaan dan pemerintahan. Tanah asalnya ialah halaman kuil dan praktisi-praktisinya yang mula-mula adalah pendeta-pendeta khusus. Mungkin menulis itu sendiri juga diketemukan oleh ahli-ahli tersebut. Jadi para dukun dan pendeta ini berada dalam garis pusat pembentukan, bukan saja pembentukan guru dan sekolah, melainkan juga evolusi manusia. Otak, tangan dan lidah, kelompok desa dan kota, tenung, agama, semuanya adalah tonggak-tonggak pedoman dalam perkembangan fisik, sosial, dan spiritual manusia. Para ulama agama modern telah mewarisi (dari para dukun negara-negara sepupunya) suatu campuran antara ilmu tenung, agama, seni dan ilmu yang mulai mereka uraikan dan spesialisasikan. Telah cukup dikenal bahwa bukan hanya menulis, tetapi juga ilmu pasti, astronomi dan kimia, melukis dan bersajak (puisi) pada mulanya tersusun di halam-halaman kuil orang-orang Mesir Sumer dan kasta-kasta yang berkuasa, yang memadukan fungsi ulama dan raja. Pengajaran seni (art) yang pertama-tama diformalkan ini, yang masih merupakan bagian terbesar dari kurikulum modern, tentulah dulu merupakan jenis pengajaran guru dan sistem magang. Pada zaman dahulu pun tentu ada jenis pengajaran antar orang-orang yang sederajat yaitu kalau seseorang menularkan penemuan atau kemampuannya kepada orang lain. Disini letak satu di antara dua akar utama sekolah modern, letak asal mula pengetahuan yang sistematis. Akar ini tidak muncul lagi, letak bentuk yang menonjol secara institusional. Akar lainnya yang jauh lebih sederhana, muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang kepada spekulasi bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer.
Plato dan Aristophanes adalah orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah itu hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang dititikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca, menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai pertimbangan sampingan. Aslinya pendidikan di Athena bersifat tutorial, suatu aspek hubungan perorangan yang seringkali juga bersifat erotik. Ketika Athena menjadi lebih demokratis dan jumlah muridnya mulai lebih banyak dari gurunya, maka secara berangsur-angsur hubungan tutorial digantikan dengan pengajaran kelompok/klasikal.
Uraian Reimer di atas mungkin memberikan pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan di Mesir Kuno, yakni sekitar tahun 3000 hingga 500 sebelum Masehi. Sementara di India, pada pendeta mengajarkan Kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar tahun 1200 sebelum Masehi. Di Cina, pendidikan formal (pengajaran) diperkirakan muncul pada masa Dinasti Zhou berkuasa, yakni antara tahun 770-256 sebelum Masehi. Konfusius, Mensius, Laotzu, termasuk di antara guru-guru pertama di Cina Kuno.
Di Yunani Kuno, tempat asal Filsafat Barat, kaum Shopis mulai mengajar di Athena sekitar tahun 400 sebelum Masehi. Socrates, yang meninggal tahun 399 sebelum Masehi, boleh jadi orang pertama yang mengatakan bahwa, "true knowledge existed within everyone and needed to be brought to consciousness". Dengan dalil ini pendekatan Socrates adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian (probing questions) untuk memicu pikiran-pikiran murid-muridnya guna memahami makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan secara lebih mendalam (inside out method).
Sepeninggal Socrates, Plato mendirikan Academy di tahun 387 sebelum Masehi, dan 52 tahun berikutnya Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri bernama Lyceum, juga di Athena. Lalu di abad yang sama, Isocrates mengembangan metode pendidikan untuk mempersiapkan para orator yang bekerja di kantor-kantor pemerintah. Ia diyakini ikut mempengaruhi secara langsung para ahli pendidikan Romawi seperti Cicero, penulis De Oratore, dan Quintillian, yang membagi pelajaran-pelajaran secara khusus berdasarkan pentahapan di awal tahun Masehi. Pada tahap primary school diajarkan soal membaca dan menulis. Lalu di secondary school para budak Yunani (dipanggil pedagogues) ditugaskan untuk mengajar tata bahasa Latin dan Yunani kepada anak-anak Romawi waktu itu (khususnya laki-laki). Dan akhirnya sedikit anak-anak laki-laki yang kaya masuk ke sekolah untuk belajar menjadi orator dalam rangka persiapan agar mereka kelak menjadi pemimpin-pemimpin di pemerintahan dan administrasi negara (seperti pegawai negeri).
Pada masa awal Masehi, orang-orang Yahudi juga telah memberikan pengajaran di tempat yang disebut Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika kekristenan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran yang utamanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan pemimpin-pemimpin agama yang mengajar di gereja. Pada masa itu wanita masih sangat sedikit memperoleh kesempatan untuk ikut belajar bersama anak-anak laki-laki sebayanya.
Sekitar abad X-XI, pendidikan Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan Barat. Melalui interaksi kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama di Afrika Utara dan Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin tentang matematika, ilmu alam, ilmu pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang menjadi fondasi dari aritmetika di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai kontribusi terpenting dari pendidikan Islam dari Arab itu. 
Kita tahu bahwa sekitar abad XIII telah dikenal adanya University of Paris, tempat dimana Thomas Aquinas mengajar. Lalu pada masa Renaisance di abad XIV dan XV dikenal tokoh-tokoh penulis seperti Dante Aleghieri, Petrarch, dan Giovanni Boccaccio. Desiderius Erasmus dari Jerman juga memberikan pengaruh besar dalam sistem pendidikan masa itu, terutama dalam perkembangan ilmu arkeologi, astronomi, mitologi, sejarah, dan Kitab Suci (Scripture). 
Penemuan mesin cetak Gutenberg di pertengahan Abad XV membuat buku makin mudah tersedia dan pada gilirannya mengakselerasi proses pembelajaran di dunia. Ditambah lagi dengan arus Reformasi Luther, Calvin, dan Zwingli, yang melahirkan Protestantisme, peran orangtua kembali ditekankan sebagai pendidik utama anak-anaknya, terutama dalam membentuk karakter mereka sebagai "orang-orang beriman". Dan karena Protestanisme tidak menabukan studi Kitab Suci oleh kaum awam, seperti Roma Katholik kala itu, maka peran Protestantisme dalam konteks pendidikan Barat tidak dapat disepelekan. Pada masa ini pula, dimulai dari reformis Jerman bernama Melanchthon, pemerintah dianggap bertanggung jawab untuk mensupervisi sekolah-sekolah dan memberikan lisensi untuk mengajar.
Selanjutnya abad XVII hingga XIX tercatat beberapa nama tokoh yang berpengaruh dalam pendidikan Barat seperti antara lain:
Comenius atau Jan Komensky, John Locke di Inggris, Benyamin Franklin dan Thomas Jefferson di Amerika, Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, Jean Jacques Rousseau di Perancis, dan lainnya. Dalam rentang waktu 200 tahun ini pula muncul perdebatan tentang perlu tidaknya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum, khususnya di Eropa (Kristen) pada pertengahan abad XIX. Pemerintahan tertentu, seperti Belanda waktu itu, bahkan menetapkan sekolah yang bercirikan agama tidak akan mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Yang juga menarik untuk disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali membuka kindergarten di Blankenburg, Jerman, dengan kurikulum berisi pelajaran menyanyi, cerita, permainan, hadiah, dan occupations, di tahun 1837. Konsep kinderganten Froebel ini kemudian dibawa ke Amerika oleh Margarethe Meyer Schurz dengan membuka taman kanak-kanak berbahasa Jerman di Watertown, Wisconsin, tahun 1855. Tahun 1860 Elizabeth Peabody melanjutkan hal ini dengan membuka sekolah sejenis berbahasa Inggris dan juga mengajar serta melatih para pengajar taman-kanak-kanak di Boston. William Torrey Harris memberikan kontribusi ketika memasukkan taman kanak-kanak sebagai bagian dari sekolah umum di Amerika.
Pada awal abad XX, Ellen Key, seorang feminis, penulis, dan ahli pendidikan Swedia, ikut mempengaruhi sejarah pendidikan dunia. Bukunya The Century of the Child (1909) menawarkan pendekatan pendidikan yang menekankan kebutuhan dan potensi anak ketimbang kebutuhan masyarakat atau prinsip-prinsip agama. Ia antara lain diikuti oleh ahli pendidikan Jerman Herman Liets dan Georg Michael Kerschensteiner, ahli pendidikan dan filosof Inggis Bertrand Russel, dan Maria Montessori dari Italia. Konsep pendidikan anak yang dikembangkan Montessori kemudian mempengaruhi Amerika dan kembali menarik perhatian ahli pendidikan di sana pada tahun 1950-an. John Dewey di Amerika dan Jean Piaget di Swiss juga memberikan pengaruh terhadap sistem pendidikan Barat. Dan setelah itu Paulo Freire, Ivan Illich, dan Everett Reimer, mulai mengkritisi sistem pendidikan yang berkembang di banyak negara waktu itu.
Dari sejarah pendidikan yang utamanya dirangkum dari Encarta Encyclopedia itu, apa yang sekarang kita kenal sebagai sekolah dan universitas boleh jadi berakar dari Academy-nya Plato dan Lyceum-nya Aristoteles. Namun, dalam artinya yang lebih luas pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam bentuknya yang informal dan nonformal (pelatihan), pendidikan diberikan oleh orangtua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi (sharing) informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh, membuat senjata dan perlengkapan hidup lainnya, belajar bahasa, dan nilai-nilai serta perilaku yang mengekspresikan ritus-ritus dalam budaya mereka masing-masing. Apa yang kemudian disebut sebagai "sejarah pendidikan" tadi lebih menunjukkan pada sejarah "pengajaran" atau sejarah "persekolahan" yang tidak mungkin dipisahkan dari sejarah ilmu pengetahuan modern. Dan kalau itu yang maksud, maka rujukan kepada filosof-filosof Athena sebagai pelopornya dapatlah diterima.
Demikianlah sejarah pendidikan formal atau pengajaran dan persekolahan memperlihatkan bahwa para praktisi pendidikan pada awalnya adalah kaum pendeta, dukun-dukun, ulama, dan mereka yang memiliki posisi kepemimpinan atau manajerial dalam organisasi keagamaan dan pemerintahan. Praktisi pendidikan itu awalnya merupakan ahli-ahli ilmu agama (teolog), ahli-ahli ilmu pengetahuan modern (filosof, cendikiawan) dan negarawan serta pejabat administrasi pemerintahan (ambtenaar, pegawai negeri). Meski budak-budak Yunani pada masa penjajahan Romawi Kuno juga dilibatkan, namun secara bertahap peran mereka digantikan oleh orang-orang yang lebih "terpelajar" dan "berkuasa".

Rabu, 25 Januari 2012

Persoalan Dasar Pendidikan Kita


Salah satu benang merah yang dapat ditarik dari sejarah pendidikan dan persekolahan di tanah air adalah bahwa sistem pembelajaran sebagaimana ia diselenggarakan selama Orde Baru harus ditolak karena terbukti menjajah, memasung, dan mengkerdilkan jiwa kaum muda Indonesia. Pendidikan yang bersifat informal, secara sembrono dipersamakan dengan pengajaran di lembaga formal --yakni 'sekolah' dan 'universitas', dalam arti yang telah menyimpang jauh dari makna kedua kata itu-- bahkan juga dengan pelatihan yang non-formal --terutama di perusahaan-perusahaan yang memiliki Divisi 'Pendidikan' dan Pelatihan, tetapi juga di Balai Latihan Kerja dibawah Departemen Tenaga Kerja Orde Baru-- telah terbukti 'efektif' membunuh kreativitas dan daya cipta kaum muda. Hal ini pada gilirannya melahirkan angkatan kerja baru yang bermental budak, yang tentu saja tidak dapat diharapkan menjadi produktif kecuali menjadi parasit, atau bahkan kanker, bagi masyarakat di lingkungan kerjanya.
Dengan lebih tegas dapat dikatakan masalah mendasar dari sistem pendidikan di negeri ini berakar pada ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi.
Orangtua tidak mau repot, karena memang tidak sungguh-sungguh peduli. Bagi sebagian besar orangtua, 'mendidik' anak itu hanya berarti mempersiapkan uang sekolah, membelikan seragam, buku-buku dan perlengkapan belajar lainnya. Kalau anaknya mengeluh sulit belajar, orangtua segera memanggil dan membayar mahal 'guru-guru' privat yang sebagian juga pengajar-pengajar di sekolah anaknya itu, untuk memberikan pelajaran tambahan ini dan itu, yang tak jelas relevansinya kecuali untuk memastikan anak-anaknya diberi nilai tinggi saat ujian di sekolah (bukankah kebiasaan membocorkan soal-soal ujian ebtanas berakar dari kebiasaan transaksi antara orangtua dan pengajar yang berkolusi dengan birokrat pemerintah?). Selebihnya? Itu tanggung jawab sekolah dan universitas. Bukankah orangtua membayar semua itu dengan biaya yang sangat tinggi?
Pada pihak lain, sekolah dan universitas terjebak pada semacam arogansi, sikap percaya diri yang berlebihan. Dengan berbagai ilusi konsep-konsep "sekolah unggul", "sekolah pemimpin masa depan", atau lebih parah lagi "pendidikan unggul", birokrat di lembaga-lembaga pengajaran formal itu merasa mampu melakukan segalanya, asal dibayar. Itu sebabnya sekolah-sekolah yang dikatakan "terbaik" sebenarnya tidak jelas bedanya dengan "termahal". Dengan demikian, lembaga-lembaga pengajaran formal itu melembagakan ajaran sesat bahwa 'pendidikan yang baik' adalah 'pendidikan yang mahal'. 'Mahal' sama dengan 'bermutu', bahkan 'baik'. Kalau uang sekolahnya murah, artinya 'buruk' dan 'tak bermutu'. Dan jika mindset ini diberlakukan, maka dapatkah kita katakan bahwa pendidikan di Jerman, yang relatif murah sampai gratis, sangatlah 'buruk' dan 'tidak bermutu'?
Paradigma ngawur semacam ini dipertegas oleh perusahaan-perusahaan pencari kerja yang dipimpin oleh orang-orang yang sama sekali tidak mengerti makna pengajaran dan pendidikan sejati, kecuali sekadar mencari (membeli) keterampilan dan kepribadian sarjana-sarjana dari sekolah yang 'mahal' itu. Bila mereka mendapatkan kenyataan bahwa para alumnus sekolah-sekolah 'terbaik' itu ternyata tidak mampu bekerja secara produktif, maka dikatakan "tidak siap pakai". Lalu sekolah dan universitas diminta menyesuaikan kurikulumnya sedemikian rupa agar dapat menciptakan semacam 'mesin-mesin industri' yang 'siap di-pakai' itu.
Pada masa Orde Baru, paradigma pembelajaran yang 'kurang ajar' semacam itu diperkuat lagi oleh keputusan-keputusan 'penguasa' Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'mesin penghafal Pancasila' yang bersedia diperbudak menjadi tiang-tiang penopang kekuasaan yang korup dan tak bermoral. Yang dipersiapkan kemudian adalah 'alat-alat produksi' yang bersedia di perbudak oleh konglomerat-konglomerat bejat yang rajin berselingkuh dengan pemegang kuasa politik. Yang dipersiapkan kemudian adalah aparat-aparat birokrasi yang miskin inisiatif dan serba menunggu petunjuk.
Demikianlah apa yang seharusnya merupakan proses pembagian tugas dan tanggung jawab dalam mempersiapkan tunas-tunas bangsa menjadi pemimpin-pemimpin masa depan, kemudian berkembang menjadi arisan bagi-bagi rejeki. Orangtua memberikan setoran kepada sekolah dan pengajar-pengajarnya. Lalu sekolah dan para pengajar itu membagikannya kepada birokrat pendidikan agar diakreditasi dan dinaikkan pamornya. Dan akhirnya para birokrat pendidikan ini membuat laporan Asal Bapak Senang kepada 'Raja Mataram' dan kroninya, tanpa ragu apalagi rasa malu. Semua terkesan beres, dan 'baik-baik' saja. Lihat angka-angka statistik menunjukkan tingginya tingkat 'pendidikan' kaum muda dari Pelita ke Pelita. Lihat anak-anak petani kampung sudah pada bergelar sarjana, sementara tanah orangtua mereka telah dijadikan klangenan penjarah bersenjata. Kita akan menjadi bangsa yang besar dan karenanya bolehlah mengajarkan kepada negara-negara lain bagaimana berswasembada beras, sementara petani-petani kita sendiri masih kekurangan beras dan kemudian kita kembali menjadi negara pengimpor beras. Mari kita canangkan 'Kebangkitan Nasional Kedua' dengan membangun Menara Jakarta, lalu kita proklamirkan pada dunia bahwa di sini, di negeri katulistiwa ini, telah lahir Raja Babel yang baru.
Namun mendadak sontak semuanya runtuh jadi debu. Dan mulailah kita menangis bertalu-talu. Segala sesuatu menjadi kacau balau. Semua berteriak, tapi tak ada yang mendengar. Semua mendengar, tapi tak ada yang mengerti. Mengapa oh mengapa? Dimanakah pusaka kesaktian Pancasila disembunyikan (mungkin di Lubang Buaya)? Hari Kebangkitan Nasional berubah menjadi Hari Kebangkrutan Nasional. Hari Kesaktian Pancasila berubah menjadi Hari Kesakitan Pancasila.
Sekali lagi, inilah mungkin akar permasalahannya: kita tidak menyadari ketidakmampuan seluruh anggota masyarakat kita untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar, dan melatih tunas-tunas bangsa, kaum muda yang sedang berproses mencari jati dirinya, jati diri komunitasnya, jati diri bangsa dan masyarakatnya, serta jati diri kemanusiaannya sebagai ciptaan Ilahi. Karena tidak sadar, maka kita tidak mau belajar. Karena tidak belajar, maka kita tidak pernah mengalami metanoia, tidak berubah dari tidak mampu menjadi berkemampuan. Itulah buah sistem pendidikan kita lebih dari tiga dekade terakhir. Buahnya adalah manusia-manusia yang bonsai, berjiwa kerdil dan mudah dibeli, tak punya rasa malu apalagi harga diri, tak menyadari ketelanjangan karena buta pikiran dan buta nurani. Buah-buahnya adalah kaum muda yang jauh lebih terbelakang dari para pelopor Sumpah Pemuda di tahun 1928.


Biarkan SAYA MENGUNYAH BUAH SENDIRI!


Dibawa-Nya-lah semuanya kepada manusia itu untuk melihat bagaimana ia menamainya..." (Kejadian 2:19)

Seorang murid mengeluh kepada Gurunya, "Bapak menuturkan banyak cerita, tetapi tidak pernah menerangkan maknanya kepada kami." Jawab sang Guru: "Bagaimana pendapatmu, Nak, andaikata seseorang menawarkan buah kepadamu, namun mengunyahkannya dahulu bagimu?" (A. de Mello SJ, Burung Berkicau)
Apa makna percakapan murid dan guru tersebut? Ah, saya rasa jauh lebih baik Anda menjawabnya sendiri. Sebab saya yakin Anda tidak ingin memakan buah yang sudah saya kunyahkan dulu bagi Anda.
Tetapi izinkanlah saya untuk mengunyah buah saya sendiri, dan menuturkan kepada Anda rasa buah itu, lalu Anda juga menuturkan rasa buah yang Anda kunyah sendiri. Nah, bukankah ini sebenarnya salah satu aspek dari pendidikan?
Saya sering membayangkan hidup di sebuah dunia di mana setiap penghuninya dapat dengan bebas dan terbuka saling berbagi cerita dan pengalaman, membuka dirinya bagi kehadiran dan keberadaan pihak lain. Menerima keberadaan orang lain apa adanya, dan saling menjunjung kedaulatan serta kemerdekaan pihak lain. Apakah itu semua dapat kita temukan dalam dunia pendidikan?
Sayangnya, kita tak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa banyak orang yang (baik disadari maupun tidak) lebih senang memakan buah yang lebih dulu dikunyahkan orang lain yang dianggap lebih tahu, lebih bijaksana, lebih pengalaman, lebih pintar... .
Saya sendiri sering mengalami bagaimana murid-murid merasa lebih "aman" bila tahu apa pendapat gurunya tentang sesuatu hal, dan akhirnya menjadikan pendapat gurunya tersebut sebagai pendapatnya juga. Lalu ketika saatnya ujian, jawaban yang diberikan murid adalah jawaban yang sama persis dengan pendapat sang guru, meskipun soal di kertas ujian sangat jelas terbaca: "Uraikan pendapatmu tentang..." Celakanya lagi, sang guru tampak senang dan memberi nilai yang baik, atas jawaban si murid, sebab dianggap muridnya sudah dapat memberikan jawaban dan pendapat yang baik dan tepat, sama seperti pendapatnya.
Jika hal ini cenderung (atau bahkan mungkin sudah) menjadi kenyataan dalam proses pendidikan kita, maka tampaknya kita pantas mengurut dada bila pendidikan tidak lagi dipandang sebagai upaya memanusiakan manusia, melainkan mem-beo-kan manusia. Moga-moga tidak!
Marilah kita belajar dari Sang Maha-Guru Agung, Allah kita. Allah memberikan hak dan kesempatan kepada Adam untuk menamai ciptaan yang lain. Kisah ini bukan semata-mata kisah saja, terlebih bila kita mengingat bahwa manusia itu dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Dalam kisah tersebut kita melihat betapa tingginya harkat dan martabat manusia dan betapa luhurnya fitrah manusia.
Pengakuan bahwa Allah sendiri memberi manusia kebebasan untuk menamai ciptaan yang lain, menunjukkan bahwa fitrah, harkat dan martabat manusia yang agung itu dimungkinkan dan ditetapkan sejak penciptaan manusia oleh Allah sendiri. Tindakan menghargai fitrah, harkat dan martabat manusia merupakan tindakan ilahi.
Tindakan Allah tersebut memberikan kepada kita suatu kerangka dasar bagi pengakuan atas kebebasan dan kedaulatan manusia, yang sejak awalnya telah diberi kebebasan oleh Allah untuk menamai bahkan menanggungjawabi perbuatannya. Kebebasan itu ternyata pula diletakkan dalam relasi yang erat dengan ciptaan yang lain (yaitu alam) dalam harmoni cinta.
Tetapi dalam kisah selanjutnya kita juga melihat bahwa kebebasan dan kedaulatan itu dibayangi oleh krisis. Krisis yang mengancam dan mampu menghancurkan manakala kebebasan dan kedaulatan tidak lagi diikuti oleh tanggung jawab dan kesadaran akan hakikat keberadaan diri. Adam dan Hawa melepas tanggung jawab untuk taat kepada batas-batas yang Allah tetapkan. Keinginan untuk menjadi seperti Allah, yang juga berarti keinginan untuk berkuasa dan menguasai pihak lain, mengakibatkan Adam dan Hawa lupa akan keberadaan diri mereka. Selanjutnya kita tahu apa yang terjadi.
Baik Adam maupun Hawa tidak mampu bersikap kritis dan waspada atas apa yang dinyatakan oleh ular. Kebebasan dan kedaulatan mereka tidak disertai oleh sikap kritis dan waspada. Kritis dan waspada terhadap krisis-krisis yang mungkin ada di dalam kebebasan dan kedaulatan itu sendiri. Ketika diperhadapkan pada pilihan yang menggiurkan, segala pertimbangan hanya memusat pada diri mereka sendiri. Saat itu sebenarnya harmoni dengan alam, terlebih dengan Pencipta tidak lagi masuk dalam pertimbangan. Harmoni yang indah tersebut dikalahkan oleh ego mereka.
Kita melihat bahwa di satu sisi kebebasan dan kedaulatan merupakan milik yang berharga bagi manusia sebab hal itu merupakan bagian dari fitrah, harkat dan martabat manusia. Namun di sisi lain kita juga tak dapat melupakan tanggung jawab dan kesadaran akan keberadaan diri kita.
Dikaitkan dengan pendidikan, maka kita harus senantiasa mengingat bahwa fitrah, harkat dan martabat manusia menjadi kerangka dasar pendidikan. Itu berarti, pendidikan semestinya menjunjung tinggi kebebasan dan kedaulatan tiap individu yang terlibat di dalamnya, terlebih dalam diri murid.
Sebagaimana telah dikatakan di atas, bahwa tindakan penghargaan akan kebebasan dan kedaulatan merupakan tindakan ilahi. Namun kebebasan dan kedaulatan tersebut bukanlah kebebasan dan kedaulatan yang memusat pada diri sendiri. Kebebasan dan kedaulatan pada akhirnya harus bermuara pada kesadaran akan relasi manusia dengan sesamanya, manusia dengan alam dan manusia dengan Pencipta-Nya. Kesadaran ini diarahkan dalam harmoni dan semangat kebersamaan.
Oleh karena itu, pendidikan harus menjadi suatu upaya untuk membebaskan manusia dari pemusatan segala sesuatu kepada diri sendiri dan mengarahkan kebebasan serta kedaulatan manusia bagi perjuangan untuk mengupayakan kebebasan dan kedaulatan sesamanya. Pendidikan yang membebaskan berarti juga upaya untuk memungkinkan berkembangnya sikap kritis, terlebih kritis terhadap diri sendiri (yang ditandai dengan berkembangnya otokritik dan introspeksi). Hal ini dilakukan dalam kesadaran akan keterkaitan diri dengan sesama dan dunianya serta terhadap Penciptanya.
Mungkinkah dan kapankah upaya itu dapat kita lihat hasilnya? Menurut saya sangat mungkin. Kapan? Ketika murid-murid sudah dapat berkata: "Pak Guru, Bu Guru, biarkan saya mengunyah buah saya sendiri...!"