Senin, 13 Februari 2012

Menuju Pendidikan Ber-Syariat



Setiap tahun kita memperingati hari pendidikan. Tapi, sampai ini, tetap saja jalan di tempa

Setiap 2 Mei, kita diingatkan untuk merefleksi pendidikan --dengan mengenang Ki Hajar Dewantara-- tokoh pendidikan Indonesia.

Sampai tahun ini, 2003, dunia pendidikan kita masih saja jalan ditempat. Kalau tidak boleh dikatakan mundur, jika kita bandingkan dengan perkembangan peradaban dunia yang makin cepat.

Agaknya, semua orang tahu bahwa dunia pendidikan kita masih amburadul. Penilaian ini bukannya tanpa dasar. Sebagai catatan, jumlah anak usia sekolah (7-24 tahun) yang tidak terkena akses pendidikan adalah 40,2 juta atau 52% dari total 77,6 juta. Dari jumlah tersebut, usia 19-24 tahun yang seharusnya menikmati bangku kuliah, terdapat 22,1 juta ‘bukan mahasiswa’ alias tidak bisa kuliah. Hasil survey Human Development Indeks pada 2002 menunjukkan tinggat pendidikan di negeri di urutan 110. Terendah sejak 1995. Dinas pendidikan kota Bandung, 2002, juga mencatat 10.000 anak putus sekolah, 90%-nya karena kekurangan biaya.

Sementara itu, mereka yang ‘berhasil’ menjadi peserta didikpun masih belum sepenuhnya menikmati dunia yang akan menentukan masa depannya. Jawa Barat masih kekurangan lebih dari 60.000 ruang kelas untuk SD.

Tahun ini, 240.000 anak tidak bisa sekolah karena tak tertampung. Masih di Jabar, propinsi di Jawa yang tergolong ‘maju’ itu masih saja kurang guru, tercatat 60.000 orang guru. Lantas, bagaimana untuk daerah yang ‘agak kurang maju’ ?

Lebih jauh, Dikti mengungkap, 50% PTN di luar jawa tidak memiliki kualifikasi layak minimal. Untuk PTS sebesar 90%. PTN di Jawa 40% layak minimal dan PTS-nya 70% tidak layak minimal. Jika tidak ada perubahan dalam jangka waktu tertentu, alternatif terakhir adalah penutupan PTN atau PTS tersebut.

Lantas, apa yang dihasilkan dari realitas yang, sebenarnya, masih ‘permukaan’ diatas ?

Tentu, kita bisa menangkap gejala yang nampak sebagai representasi, sekaligus, ‘prestasi’ dunia pendidikan kita. Maraknya tawuran pelajar, bahkan menjalar ke pelajar SD. Penodongan, pembajakan bus dan tindakan kriminal lainnya. Penyalahgunaan narkoba dan menjamurnya praktik pergaulan dan seks bebas serta bisnis esek-esek ‘tingkat tinggi’ karena menggunakan label mahasiswa. Semuanya adalah gejala yang menimpa peserta didik.

Ikatan Waria Malang (Iwama) menyatakan, 50% lebih WTS di Malang, adalah kalangan mahasiswa. Sementara itu, ditahanan Polres Sleman, Jogjakarta, menyebutkan, data pertumbuhan kriminal bulan Maret 2003, dari 59 tahanan, 22 adalah mahasiswa yang berprofesi sebagai pecandu dan pengedar narkoba.

Hasil operasi Antik Progo Polda DIY 2002 menunjukkan 51 kasus narkoba, 34 diantaranya mahasiswa.. Bahkan ada yang berpendapat, data yang selama ini terungkap hanyalah puncak gunung es, sejatinya, lebih dari itu.

Dengan demikian, memang ada yang salah dalam dunia pendidikan kita. Sehingga realitas saat ini melenceng dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Alih-alih mencerdaskan, produk pendidikan kita justru jauh tertinggal dibelakang negara lain.

Jika trend masyarakat dunia mengarah pada employe society, maka produk pendidikan Indonesia masih berkutat pada bagaimana mencetak pekerja-pekerja ‘kasar’ untuk kemudian di ekspor sebagai mesin penghasil devisa. Itulah prestasi kita, kalah bersaing dengan produk pendidikan luar negeri. Jika tenaga kerja negara lain menjadi, meminjam istilah Jalaludin rahmat, ‘kognitariat’, maka putra-putra bangsa ini menjadi ‘proletariat’. Boleh jadi, nanti kita akan saksikan, orang Singapura dan Malaysia duduk di front office atau didepan komputer, anak-anak bangsa ini harus puas menjadi sopir, ditempat panas sebagai pekerja bangunan dan terpuruk dalam pengapnya dapur sebagai PRT.

Buah Kapilatisme

Sistem pendidikan adalah satu kesatuan organik dari seluruh sistem yang dijalankan. Pendidikan tidak bisa dilepaskan dari sistem politik, ekonomi dan hukum.

Sebagai negara (saya menyebut) kapitalis, meskipun agak malu-malu, paradigma pendidikan di Indonesia selama ini, sengaja atau tidak, dibawa kearah nilai materialistik, hedonistik, individualistik dan sekularistik sebagai derivasi kapitalisme.

Paradigma sekularistik, misalnya, terlihat pada tiadanya nilai-nilai transendental pada semua proses pendidikan, mulai dari peletakan filosofi pendidikan, penyusunan kurikulum dan materi ajar. Juga kualifikasi pengajar, proses belajar mengajar hingga budaya kampus sebagai hidden curiculum sekaligus dasar penanaman nilai. Nuansa hedonistik nampak jelas dari cara pergaulan dan berpakaian yang tidak mencerminkan karakter intelektual. Kampus dijadikan ajang mejeng dan pacaran. Kampus, saat ini, juga beralih fungsi sebagai cat walk untuk memamerkan aurat dan perkembangan mode pakaian terbaru.

Dengan demikian, academic atmosphere, perlu dikembangkan dalam berbagai aspek, termasuk nilai-nilai keagamaan. Jika tidak, citra kampus sebagai wadah penggodok pembela dan pengabdi rakyat, agent of change dan komunitas intelektual sepertinya perlu ditinjau ulang.

Paradigma kapitalistik, cepat atau lambat, akan menggiring siswa (dan mahasiswa) untuk menikmati racun barat (westoxiation). Secara science dan teknologi makin jauh tertinggal dari barat, tetapi kita sudah keropos dari muatan nilai dan ideologi. Jika demikian, pembunuhan setiap 22 menit, pemerkosaan setiap 5 menit (terbesar didunia, 3 kali lipat peringkat kedua, Kanada), perampokan setiap 49 detik, pencurian setiap 10 detik dan ribuan bayi lahir tanpa ketahuan bapaknya, seks bebas dan kejahatan lain sebagai hasil dan prestasi pendidikan model kapitalistik dan demokrasi di Amerika Serikat, rasa-rasanya tinggal tunggu waktu saja terjadi di Indonesia. Naudzu billahi min dzalik

Perspektif Islam
Sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, pendidikan dalam Islam tidak hanya diarahkan pada ritualitas dan nilai akhlak semata. Beberapa catatan penting dalam pendidikan perspektif Islam adalah :

Pertama, tidak hanya berorientasi pada kesiapan memasuki dunia kerja. Lebih dari itu, mencetak seseorang yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar, kecakapan berkarya, keluasan wawasan. Al Qur’an menggambarkan bagaimana Luqman mendidik anaknya (QS 31: 13-27). Oleh karena itu, nilai-nilai Islam tidak hanya tercermin dalam mata kuliah agama, tapi dalam pelajaran yang lain. Maka, tidak dikenal dikotomi agama-iptek. Karena jelas, agama adalah spirit yang memberi arah kemajuan dan penggunaan iptek.

Kedua, bersifat membumi. Artinya, pendidikan tidak dilepaskan dari persoalan kekinian yang sedang dihadapi masyarakat.

Ketiga, prioritas pendidikan disesuaikan dengan urgensitas dan hukum syari’at dalam amal perbuatannya.

Keempat, pendidikan adalah tanggung jawab tiga pilar masyarakat, yaitu individu, masyarakat dan negara. Dalam konteks individu, Islam sangat mendorong ummatnya untuk belajar dan memiliki pengetahuan (learning society). Sehingga menghabiskan waktu tanpa mendapatkan ilmu, memperoleh ijazah tanpa ilmu atau mendapat amanah sebelum menguasai ilmu adalah tercela.

Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti akan memudahkannya menempuh jalan menuju surga” (HR Turmidzi)

"Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. Siapa saja yang mempelajari ilmu, dia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang tersebut,” (HR Ibnu Majah)
Negara adalah institusi pelaksana pendidikan yang paling penting. Negaralah yang bisa melakukan intervensi ketika ada orang tua yang sengaja menghalangi anaknya menuntut ilmu tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Termasuk menghidupkan kontrol sosial, menjamin kemerdekaan pers.

Negara wajib menetapkan sistem pendidikan yang menajamin berlangsungnya tujuan pendidikan. Mulai dari penetapan standar mutu pendidikan, standar guru sampai pembiayaan pendidikan.

Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap segala urusan rakyat, termasuk dalam pendidikan. Sosok Ibnu Sina, Ibnu Kholdun, Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’i dan ratusan ilmuan lain adalah contoh kecil produk sistem pendidikan Islam. Mereka sangat produktif dalam karya-karya monumental yang pada saat bersamaan, peradaban barat berada dalam masa kebodohan.

Satu contoh kecil perhatian pemerintahan Islam dalam pendidikan adalah ketika Khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan:

"Barangsiapa di antara kalian yang secara rutin mengumandangkan azan di wilayah kalian, maka catatlah pemberian (hadiah) sebesar 1000 dinar. Siapa pun yang menghafal al-Quran, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal al-Quran, meriwayatkan hadis, dan mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas pemberian 1000 dinar". (al-Imâmah wa as-Siyâsah, Ibn Qutaibah, I/99).

Maka, jika kita ingin ‘mengulang sejarah’, sekaligus membuat sejarah baru, memperbaiki generasi dan mengganti generasi yang sudah ‘usang dan aus’ seperti saat ini, kembali kepada sistem pendidikan Islam adalah jawabnya. Tentu, karena pendidikan tidak lepas dari sistem yang lain.

Maka menghadirkan kembali penerapan syari’at dalam semua level kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara) adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda dan ditawar-tawar lagi.

Wal hasil, mengurai benang kusut pendidikan, kebangkrutan intelektual, yang pada gilirannya, untuk mencetak generasi yang tangguh tidak ada jalan lain, kecuali kembalikan pada Islam.
Wallahu a’lam bishowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar