Rabu, 22 Februari 2012

Proposal Skripsi Model TGT


JUDUL : PENINGKATAN AKTIVITAS BELAJAR MURID BIDANG STUDI MATEMATIKA MELALUI MODEL TGT (TEAMS GAMES TOURNAMENTS) DI KELAS VI SD PERUMNAS IV MAKASSAR

I.       PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Salah satu unsur yang sangat menentukan pengembangan bidang pendidikan adalah kualitas interaksi edukatif yang berlangsung pada setiap satuan atau jenjang pendidikan termasuk jenjang sekolah dasar (SD). Interaksi edukatif tidak hanya sekedar transfer informasi melaikan suatu proses berpikir dan bernalar, yaitu memikirkan dan mempelajari suatu obyek. Kegiatan ini dapat dilakukan baik secara perorangan maupun berkelompok (klasikal). Hasil yang diperoleh dari interaksi edukatif tersebut adalah pengetahuan tentang obyek pembelajaran.
Bidang studi matematika sebagai salah satu obyek pembelajaran pada satuan pendidikan tingkat sekolah dasar memainkan peranan yang sangat penting sebagai sarana berpikir deduktif, logik dan ilmiah dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta diperlukan guna menunjang keberhasilan murid dalam menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi di era persaingan yang kompetitif dan bersifat holistik.
Mengingat peranan matematika yang sangat penting, maka para murid mutlak dituntut untuk menguasainya, khususnya pada tingkat sekolah dasar. Pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional juga menekankan dalam kaitannya dengan pembelajaran matematika agar murid memiliki: 1) kemampuan yang berkaitan dengan matematika yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah matematika ataupun masalah yang berkaitan dengan kehidupan nyata, 2) kemampuan menggu-nakan matematika sebagai alat komunikasi, 3) kemampuan menggunakan matematika sebagai cara bernalar yang dapat dialihgunakan pada setiap keadaan, seperti berpikir kritis, logis, sistematis, bersifat objektif, dan jujur (Abdurrahman, 2003).
Oleh karena itu, diperlukan proses pembelajaran matematika yang efektif dengan berorientasi pada peningkatan kualitas yang progresif dan kompetitif. Berdasarkan peranan bidang studi matematika yang begitu besar, maka upaya perbaikan dan peningkatan kualitas belajar matematika terus dilaksanakan secara bertahap dengan sasaran yang lebih mendasar yakni pada peningkatan keterampilan matematika, pengembangan penyelesaian masalah matematika dan perbaikan cara belajar matematika. Jika hal tersebut dapat dicapai, maka usaha untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan akhirnya dapat tercapai. Harapan tersebut sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 Bab II Pasal 3, sebagai berikut:
Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab.
Lebih lanjut berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kemampuan
berhitung peserta didik, secara khusus merupakan keinginan pemerintah dalam prinsip penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang dapat pula dilihat dalam UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab IV Pasal 4 ayat 5, yang menyatakan bahwa “Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung bagi segenap warga masyarakat”.
Berangkat dari hal tersebut, maka pemikiran seputar penataan sistem pendidikan nasional di Indonesia memang dari segi konseptual selalu diupayakan agar menemukan bentuk yang ideal dan sistematis untuk mencapai tujuan, namun kenyataan dalam pelaksanaan di sekolah masih ditemukan suatu dilema, dimana sering terjadi ketidakproporsionalan antara materi pelajaran dan tujuan dengan daya tampung murid di kelas khususnya pada pelajaran berhitung seperti mata pelajaran matematika, sehingga beujung pada ketidakefektifan proses pembelajaran.
Banyaknya murid di kelas terkadang tidak dapat terlayani secara maksimal dalam hal bimbingan, arahan dan jalan keluar dari kesulitan belajar berhitung yang dihadapi murid secara langsung pada saat proses belajar mengajar. Padahal setiap peserta didik pada prinsipnya berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik yang memuaskan melalui penyelenggaraan pembelajaran yang efektif. Namun kenyataan sehari-hari tampak jelas pada murid kelas V (yang akan naik ke kelas VI pada tahun ajaran 2011/2012) SD Ipres Perumnas IV, di mana peserta didik memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelegensi, kemampuan fisik, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara murid yang satu dengan murid lainnya.
Perbedaan-perbedaan yang dikemukakan di atas tentunya akan berbeda pula dalam hal daya serap dan kemampuan murid merespon materi pelajaran di kelas, ada yang cepat, sedang dan ada yang lambat. Di samping itu, ketidaktepatan dalam memilih model pembelajaran dalam bidang studi matematika akan memunculkan momok bahwa pelajaran matematika adalah sesuatu yang sulit dan membebani siswa, hingga memunculkan sikap psikologis siswa yang negatif yakni mudah jenuh, gairah belajar kurang, malas dan tidak termotivasi hingga berujung pada penurunan hasil belajar murid khususnya pada bidang studi matematika. Hal inilah yang terjadi di SDIpres Perumnas IV, di mana masih tingginya prosentase murid yang belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal yakni 44,44% dari 27 murid.
Oleh karena itu, maka diperlukan penerapan model pembelajaran matematika yang dapat menjadikan pembelajaran murid bermanfaat dan bertujuan bagi dirinya melalui serangkaian prosedur yang tepat,  menyenangkan dan mampu menembus kebosanan peserta didik serta dapat menimbulkan semangat kooperatif dan kompetitif secara sehat mendorong semangat dan aktivitas belajar murid.
Berdasarkan uraian di atas, maka salah satu upaya yang dianggap dapat memecahkan masalah tersebut di atas adalah dengan menerapkan model pembelajaran TGT (teams games tournaments) sekaligus diharapkan dapat membantu murid mempelajari keterampilan dasar matematika dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Hal inilah yang mendorong peneliti mengambil judul Peningkatan Aktivitas Belajar Murid Bidang Studi Matematika Melalui Model TGT di Kelas V SD.INPRES PERUMNAS IV
B.     Rumusan dan Pemecahan Masalah
1.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Apakah pembelajaran model TGT dapat meningkatkan aktivitas belajar murid bidang studi matematika kelas V SD.INPRES PERUMNAS IV MAKSSAR ?
2.      Pemecahan Masalah
Untuk memecahkan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tindakan yang dapat dilakukan adalah menerapkan model TGT dalam pembelajaran di kelas. Model pembelajaran TGT diduga mampu memecahkan permasalahan utama yakni rendahnya aktivitas belajar murid pada bidang studi matematika karena tidak proporsionalnya antara cakupan materi, tujuan, dan jumlah murid ditambah lagi tidak tepatnya model pembelajaran yang dikembangkan.
Secara teoritik model TGT dapat membantu guru meningkatkan aktivitas belajar karena memanfaatkan prinsip pembelajaran kooperatif dan model belajar kelompok yang dapat menumbuhkan semangat belajar berdasarkan dorongan partisipatif dari teman kelompoknya.
Selanjutnya, untuk memecahkan masalah dengan menggunakan model TGT maka dipilih ruang lingkup penelitian berbentuk penelitian tindakan kelas dengan pembelajaran bersiklus. Jika pada siklus sebelumnya indikator keberhasilan pembelajaran belum tercapai, maka akan dilanjutkan pada siklus berikutnya. Indikator keberhasilan tindakan adalah jika terwujud suatu pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat dengan mudah dan menyenangkan dalam aktivitas belajar hingga tercapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan dalam RPP.

C.    Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan rumusan pemecahan masalahnya, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivitas belajar murid pada bidang studi matematika melalui model pembelajaran TGT di kelas V SD INPRES PERUMNAS IV MAKASSAR

D.    Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian in diharapkan dapat memberikan manfaat, antara lain:
1.      Manfaat Teoritis
Sebagai landasan teoritis untuk mengembangkan pembelajaran inovatif yang aktif, efektif dan menyenangkan sesuai dengan paradigma konstruktivisme dan relevan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) khususnya dalam bidang studi matematika.
2.      Manfaat Praktis
a.       Bagi murid khususnya kelas VI, melalui model pembelajaran TGT dapat membantu mewujudkan pembelajaran yang lebih memberikan peluang kepada murid untuk mengkonstruksi pengetahuan secara mandiri dan dimediasi oleh teman sebaya.
b.      Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan sekaligus panduan praktis dalam reformasi pembelajaran menuju pembelajaran inovatif sehingga kompetensi guru meningkat dan berujung pada peningkatan hasil belajar murid khususnya bidang studi matematika.
c.       Bagi peneliti, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi setara dan pembanding untuk penelitian pendidikan yang relevan sehingga turut menambah khazanah model-model pembelajaran yang dikembangkan oleh guru sesuai konteks.

II.    KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PIKIR, DAN HIPOTESIS

A.    Kajian Pustaka

1.      Pembelajaran Matematika
a.      Pengertian
Menurut Johnson dan Myklebust (Abdurrahman, 2003: 252) bahwa “matema-tika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berpikir”. Lerner (Abdurrahman, 2003: 252) mengemukakan bahwa “matematika di samping sebagai bahasa simbolis juga merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat dan mengkomunikasi-kan ide mengenai elemen dan kuantitas”.
Selanjutnya Paling dalam Abdurrahman (2003: 252) mengemukakan bahwa:
Matematika adalah suatu cara untuk menemukan jawaban terhadap masalah yang dihadapi manusia, suatu cara menggunakan informasi, menggunakan pengetahuan tentang bentuk dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang menghitung dan yang paling penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan menggunakan hubungan-hubungan.

Berdasarkan berbagai pendapat para ahli di atas tentang hakikat matematika, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah metode pemecahan masalah yang berkaitan dengan kuantitas dengan menggunakan seperangkat pengetahuan tentang bilangan, bentuk, dan ukuran serta kemampuan menggunakan hubungan-hubungan.

b.      Tujuan pembelajaran matematika
Bidang studi matematika yang diajarkan pada satuan tingkat SD mencakup tiga cabang, yaitu: aritmetika, aljabar, dan geometri. Terdapat banyak alasan tentang perlunya murid belajar matematika. Cornelius (Abdurrahman, 2003: 253) mengemu-kakan bahwa:
Lima alasan perlunya belajar matematika, yakni: 1) sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah dalam kehidu-pan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan genera-lisasi pengalaman; 4) sarana untuk mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya.

Adapun Cockroft (Abdurrahman, 2003: 253) mengemukakan bahwa:
Matematika perlu diajarkan kepada murid karena: 1) selalu digunakan dalam segala kehidupan 2) semua bidang studi memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; 3) merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas; 4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; 5) meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan 6) memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.



Menurut Abdurrahman (2003: 253)  bahwa “hendaknya kurikulum bidang studi matematika hendaknya mencakup tiga elemen yakni: (1) konsep; (2) keterampilan; dan (3) pemecahan masalah”.
Konsep menunjuk pada pemahaman dasar. Sebagai contoh anak mengenal konsep segitiga sebagai suatu bidang yang dikelilingi oleh tiga garis lurus. Pemahaman anak tentang konsep segitiga dapat dilihat pada saat anak mampu membedakan berbagai bentuk geometri lain dari segitiga. Adapun keterampilan menunjuk pada sesuatu yang dilakukan oleh seseoran, sebagai contoh proses menggunakan operasi dasar dalam penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian adalah suatu jenis keterampilan matematika.
Sedangkan pemecahan masalah sudah merupakan aplikasi dari konsep dan keterampilan. Sebagai contoh, pada saat murid diminta untuk mengukur luas selembar papan, maka beberapa konsep yang terlibat adalah bujursangkar, garis sejajar, dan sisi; dan beberapa keterampilan yang terlibat adalah keterampilan mengukur, menjumlahkan, dan mengalikan.
Dalam dunia pendidikan matematika di Indonesia dikenal adanya matematika modern. Matematika modern diajarkan di SD sebagai pengganti berhitung. Matematika modern lebih menekankan pada pemahaman struktur dasar sistem bilangan daripada mempelajari keterampilan dan fakta-fakta hafalan. Pembelajaran matematika modern lebih menekankan pada mengapa dan bagaimana matematika melalui penemuan dan eksplorasi.

c.       Tahapan pembelajaran matematika
Menurut J. Bruner dalam Muslich (2007: 222) bahwa belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya”. Pengetahuan perlu dipelajari dalam tahap-tahap tertentu agar pengetahuan tersebut dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur kognitif) manusia yang mempelajarinya. Menurut Muslich (2007: 222) bahwa “proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh jika pengetahuan tersebut khususnya matematika dipelajari dalam tahap enaktif, ikonik, dan tahap simbolik”.
1)      Tahap enaktif
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan dipelajari secara aktif dengan menggunakan benda-benda konkret atau situasi nyata.
2)      Tahap ikonik
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresetasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual, gambar atau diagram yang menggambarkan kegiatan konkret atau situasi konkret yang terdapat pada tahap enaktif.
3)      Tahap simbolik
Suatu tahap pembelajaran di mana pengetahuan direpresentaskan dalam bentuk simbol abstrak, baik simbol verbal (misalkan huruf, kata atau kalimat), lambang matematika, maupun lambang abstrak lainnya.
Suatu proses pembelajaran akan berlangsung secara optimal jika pembelajaran diawali dengan tahap enaktif, dan kemudian jika tahap belajar yang pertama dirasa cukup, murid beralih ke tahap yang belajar yang kedua, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus representatif ikonik. Selanjutnya kegiatan belajar tersebut dilanjutkan pada tahap ketiga, yaitu tahap belajar dengan menggunakan modus simbolik.
Dalam pembelajaran matematika salah satu upaya yang dilakukan oleh guru adalah dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TGT (teams games tournaments) karena dengan menggunakan model pembelajaran ini dapat memberikan murid kesempatan seluas-luasnya untuk memecahkan masalah matematika dengan strateginya sendiri. Di samping itu, model TGT menumbuhkan dinamikia kelompok belajar secara kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, dan santun serta bernuansa ‘belajar sambil bermain atau bermain sambil belajar’.

2.   Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning)
a.   Pengertian
Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) berasal dari kata cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai suatu kelompok atau tim. Menurut Isjoni (2007: 15) bahwa:
Cooperative learning adalah suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang murid lebih bergairah dalam belajar.
     
Sedangkan menurut Suradi (2002: 36) bahwa pembelajaran kooperatif adalah:
Suatu model pengajaran yang jangkauannya melampaui (tidak hanya) membantu murid belajar keterampilan semata, namun juga melatih murid dalam tujuan hubungan sosial, sehingga pembelajaran kooperatif membuat murid akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka dapat saling mendiskusikan konsep-konsep tersebut dengan temannya.

Lebih lanjut, Slavin (Suradi, 2002: 24) mengemukakan bahwa “dalam pembelajaran kooperatif murid bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu mempelajari suatu materi”. Pendapat serupa diungkapkan Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa:
Dalam pembelajaran kooperatif murid belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari empat atau lima murid dengan kemampuan heterogen (kemampuan tinggi, sedang, dan rendah), berbeda jenis kelamin, dan suku/ras, serta saling membantu satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kelompok kooperatif adalah kelompok belajar kecil dengan kemampuan akademik dan latar belakang suku dan jenis kelamin yang bervariasi untuk saling membantu sama lain.

b.   Prinsip pembelajaran kooperatif
Terdapat empat prinsip pembelajaran kooperatif menurut Sanjaya (2006: 244) yaitu: “prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka, partisipasi dan komunikasi”.

1)      Prinsip ketergantungan positif
Dalam pembelajaran kelompok, keberhasilan suatu penyelesaian tugas sangat tergantung pada usaha yang dilakukan setiap anggota kelompok. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap anggota kelompok keberhasilan penyelesaian tugas kelompok akan ditentukan oleh kinerja masing-masing anggota, dengan demikian semua anggota dalam kelompok akan merasa saling ketergantungan.
2)      Tanggung jawab perseorangan
Prinsip ini merupakan konsekuensi dari prinsip pertama. Oleh karena keberhasilan kelompok tergantung pada setiap anggotanya, maka setiap anggota kelompok harus memiliki tanggung jawab sesuai dengan tugasnya.
3)      Interaksi tatap muka
Pembelajaran kooperatif memberi ruang dan kesempatan yang luas kepada setiap anggota kelompok untuk bertatap muka saling memberikan informasi dan saling membelajarkan.
4)      Partisipasi dan komunikasi
Pembelajaran kooperatif melatih murid untuk dapat mampu berpartisipasi aktif dan berkomunikasi. Kemampuan ini sangat penting sebagai bekal mereka dalam kehidupan di masyarakat kelak.

c.   Keuntungan pembelajaran kooperatif
Menurut Thomson (Muslich, 2007: 229) bahwa “Pembelajaran kooperatif dapat membuat murid memverbalisasi gagasan-gagasan dan dapat mendorong munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep secara aktif”. Selanjutnya Slavin (Suradi, 2006: 6) mengemukakan keuntungan pem-belajaran kooperatif antara lain:
1)      Murid bekerjasama dalam mencapai tujuan dengan menjunjung tinggi norma-norma kelompok.
2)      Murid aktif membantu dan mendorong semangat untuk sama-sama berhasil.
3)      Aktik berperan sebagai tutor sebaya untuk lebih meningkatkan keberhasilan kelompok.
4)      Interaksi antar murid seiring dengan peningkatan kemampuan mereka dalam berpendapat.
5)      Interaksi antar murid juga membantu meningkatkan perkembangan kognitif yang non-konservatif menjadi konservatif (teori Piaget).

Di samping itu, menurut Lundgren (Muslich, 2007: 230) bahwa “dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi murid juga harus mempelajari keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif”. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan membagi tugas anggota kelompok selama kegiatan. Keterampilan kooperatif tersebut antara lain: keterampilan awal, keterampilan tingkat menengah, dan keterampilan tingkat mahir.

d.   Pembelajaran kooperatif tipe TGT
Dalam perkembangannya, pembelajaran kooperatif terdiri atas beberapa tipe, salah satu diantaranya adalah tipe TGT. Menurut Saco (2006), dalam TGT murid memainkan permainan dengan anggota tim lain untuk memperoleh skor tinggi bagi tim mereka masing-masing. Permainan dapat disusun guru dalam bentuk quiz menggunakan kartu bernomor yang berkaitan dengan materi pelajaran.
Permaianan dalam pembelajaran tipe TGT dapat berupa pertanyaan-pertanyaan yang ditulis pada kartu-kartu yang diberi angka. Tiap murid anggota kelompok akan mengambil sebuah kartu yang telah diberi nomor dan menjawab pertanyaan yang ada pada kartu tersebut sehingga memberikan sumbangan bagi pengumpulan kelompoknya.
Turnamen harus memungkinkan semua murid dari semua tingkat kemampuan (kepandaian) untuk menyumbangkan poin bagi kelompoknya. Aturannya dapat berupa, soal yang sulit untuk anak pintar, dan soal yang lebih mudah untuk anak yang kurang pintar. Hal ini dimaksudkan agar semua anak mempunyai kemungkinan memberi skor pada kelompoknya. Namun semua soal nantinya apakah yang mudah atau sulit harus diketahui oleh seluruh anggota kelompok.

e.   Langkah-langkah pembelajaran TGT
Penerapan model TGT dapat dilakukan dengan cara mengelompokkan murid secara heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan seperti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas (Suherman, 2009).
Menurut Suherman (2009) bahwa jika waktunya memungkinkan TGT bisa dilaksanakan dalam beberapa pertemuan dengan sintak sebagai berikut:
1)      Buat kelompok murid secara heterogen 5 orang kemudian berikan informasi mengenai pokok materi dan mekanisme kegiatan.
2)      Siapkan meja turnamen secukupnya, misal 5 meja di mana tiap meja ditempati 5 murid yang berkemampuan setara, meja I diisi oleh murid dengan level tertinggi dari tiap kelompok asal dan seterusnya sampai meja ke V ditempati oleh murid yang levelnya paling rendah. Penentuan tiap murid yang duduk pada meja tertentu adalah hasil kesepakatan kelompok.
3)      Selanjutnya adalah pelaksanaan turnamen, setiap murid mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu tertentu (misal 3 menit). Murid bisa mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa  dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor kelompok asal. Murid pada tiap meja turnamen sesuai dengan skor yang diperolehnya diberikan gelar seperti:  superior, very good, good, medium.
4)      Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan seterusnya) dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, murid superior dalam kelompok meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid dengan gelar yang sama.
5)      Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan terhadap kelompok dan individual.

3.   Aktivitas Belajar
a.      Pengertian
Belajar merupakan proses untuk mengubah tingkat laku sehingga mutlak memerlukan aktivitas. Tidak ada belajar dan hasil belajar tanpa ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas yang sangat penting di dalam interaksi belajar mengajar. Hal tersebut sejalan dengan yang dikemukakan Djamarah, (1994: 45) bahwa “guru yang baik akan mampu menciptakan atau mengkreasikan lingkungan belajar siswa agar kegiatan belajar menjadi aktif”.
Menurut Al Barry (1994: 15) bahwa aktivitas adalah “kegiatan atau keaktifan”, sedangkan Usman (2005: 23) memberikan batasan bahwa “keaktifan dalam belajar menunjuk pada keaktifan mental meskipun untuk mencapai maksud ini dalam banyak hal dipersyaratkan keterlibatan langsung dalam berbagai keaktifan fisik”. Sementara itu, menurut Sardiman (2006: 100) “bahwa yang dimaksud aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik atau mental”.
Berdasarkan beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas adalah kegiatan baik yang bersifat fisik maupun mental.
Adapun belajar merupakan istilah yang sudah lazim di tengah masyarakat dan begitu banyak ahli atau pakar pendidikan telah memberikan batasan dan definisi tentang belajar. Menurut Sardiman (2006: 20) bahwa “dalam pengertian luas, belajar dapat diartikan sebagai kegiatan psiko-fisik menuju ke perkembangan pribadi yang seutuhnya”. Kemudian lebih lanjut Sardiman (2006: 20) menyatakan bahwa “dalam arti sempit, belajar dapat diartikan sebagai usaha penguasaan materi ilmu pengetahuan yang merupakan sebagian kegiatan menuju terbentuknya kepribadian seutuhnya”. Sementara itu menurut Sukardi (1983: 15) bahwa “belajar ialah suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil pengalaman kecuali perubahan tingkah laku yang disebabkan oleh proses menjadi matangnya seseorang atau perubahan instinktif atau yang bersifat temporer”.
Selanjutnya Skinner dalam Abdullah (1989: 70) mengemukakan bahwa “Belajar adalah proses adaptasi tingkah laku secara progresif”. Adapun menurut Abdurrahman (1993: 97) bahwa “Belajar adalah upaya manusia memobilisasikan semua sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan jawaban yang tepat terhadap problema yang dihadapinya”. Lebih lanjut definisi belajar dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 14) sebagai “Usaha memperoleh kepandaian atau ilmu; berlatih; berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman-pengalaman”.
Berdasarkan beberapa pengertian belajar yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa belajar adalah usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan pada aspek pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui pengalaman dan interaksi dengan lingkungannya.
Oleh karena itu, dengan mengintegrasikan definisi aktivitas dan belajar di atas maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas belajar adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu dalam usaha memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi edukatif dengan lingkungannya.
b.      Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas belajar
Prinsip-prinsip pengembangan aktivitas dalam belajar dapat dilihat dari sudut pandang perkembangan konsep jiwa menurut ilmu jiwa. Dengan melihat unsur kejiwaan subjek belajar dapatlah diketahui bagaimana prinsip aktivitas yang terjadi dalam kegiatan belajar tersebut. Oleh karena dilihat dari sudut pandang ilmu jiwa, maka sudah barang tentu yang menjadi fokus perhatian adalah komponen manusiawi yang melakukan aktivitas dalam belajar-mengajar, yakni siswa dan guru.
Menurut Sardiman (2006: 99) bahwa “aliran ilmu jiwa yang tergolong modern akan menerjemahkan jiwa manusia sebagai sesuatu yang dinamis, memiliki potensi dan energi sendiri”. Oleh karena itu, secara alami anak didik dapat menjadi aktif, karena adanya motivasi dan didorong oleh bermacam-macam kebutuhan. Anak didik dipandang sebagai organisme yang mempunyai potensi untuk berkembang, sehingga tugas pendidik adalah membimbing dan menyediakan kondisi agar anak didik dapat mengembangkan bakat dan potensinya. Dalam hal ini, anak didiklah yang beraktivitas, berbuat dan harus aktif sendiri.
Guru bertugas menyediakan bahan pelajaran, tetapi yang mengolah dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan dan latar belakang masing-masing. Belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif. Guru hanya memberikan acuan atau alat, sementara yang harus mendominasi aktivitas atau kegiatan adalah murid. Hal ini sesuai dengan hakikat anak didik sebagai manusia yang penuh dengan potensi yang bisa berkembang secara optimal apabila kondisi mendukungnya. Sehingga yang penting bagi guru adalah menyediakan kondisi yang kondusif tersebut.
Aktivitas yang dimaksudkan dalam proses belajar adalah aktivitas fisik dan mental. Dalam kegiatan belajar kedua aktivitas tersebut harus selalu berkait dan berkelindang. Sehubungan dengan hal tersebut, Piaget dalam Sardiman (2006) menerangkan bahwa seseorang anak itu berpikir sepanjang ia berbuat. Tanpa perbuatan berarti anak itu tidak berpikir. Oleh karena itu, agar anak berpikir sendiri maka harus diberi kesempatan untuk berbuat sendiri.
Agar siswa berperan sebagai pelaku dalam kegiatan belajar, maka guru hendaknya merencanakan pengajaran yang membuat siswa banyak melakukan aktivitas belajar. Menurut Ibrahim dan Syaodih (2003: 27) bahwa “aktivitas atau tugas-tugas yang dikerjakan siswa hendaknya menarik minat siswa, dibutuhkan dalam perkembangannya, serta bermanfaat bagi masa depannya”. Jika cara mengajar guru enak dalam pandangan siswa maka siswa akan tekun, rajin, antusias menerima pelajaran yang diberikan sehingga diharapkan akan terjadi perubahan pada tingkah laku siswa. Hal tersebut semakna dengan yang dikemukakan Abdurrahman (1993: 109) bahwa “untuk mengaktifkan siswa belajar, maka hendaknya pelajaran dikemas dalam suasana menantang, merangsang dan menggugah daya cipta siswa untuk menemukan dan mengesankan”.
Lebih lanjut menurut Abdurrahman (1993: 109-110) “terdapat beberapa prinsip yang dapat digunakan dalam mengembangkan aktivitas belajar yaitu prinsip motivasi dan prinsip belajar sambil bermain”.
c.       Jenis-jenis aktivitas belajar
Pada prinsipnya aktivitas belajar matematika adalah keterlibatan intektual emosional siswa dalam kegiatan belajar matematika, yang meliputi asimilasi dan akomodasi kognitif dalam pencapaian pengetahuan, perbuatan serta pengalaman langsung dalam pembentukan keterampilan dan penghayatan atau internalisasi nilai-nilai dalam pembentukan sikap.
Sekolah adalah salah satu pusat kegiatan belajar, dengan demikian di sekolah merupakan arena untuk mengembangkan aktivitas. Banyak jenis aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah. Aktivitas siswa tidak cukup hanya mendengarkan dan mencatat seperti yang lazim terdapat di sekolah-sekolah tradisional. Aktivitas belajar siswa yang dimaksudkan dalam pembelajaran matematika adalah aktivitas fisik maupun aktivitas mental. Menurut Sardiman (2006: 101) banyak aktivitas yang dapat dilakukan oleh siswa di sekolah, antara lain dapat digolongkan sebagai berikut:
1)      Visual activities (aktivitas visual), yang termasuk di dalamnya membaca, menulis, memperhatikan gambar demonstrasi, atau percobaan.
2)      Oral activities (aktivitas lisan), seperti menyatakan, merumuskan, bertanya, memberi saran, mengeluarkan pendapat, mengadakan wawancara, diskusi, atau interupsi.
3)      Listening activities (aktivitas mendengarkan), seperti mendengarkan uraian, percakapan, atau diskusi.
4)      Writing activities (aktivitas menulis), seperti menulis cerita, karangan, laporan, angket atau menyalin.
5)      Drawing activities (aktivitas menggambar), seperti menggambar, membuat grafik atau peta, dan diagram.
6)      Motor activities (aktivitas bergerak), seperti melakukan percobaan, membuat konstruksi, mereparasi model, atau bermain.
7)      Mental activities (aktivitas mental), seperti menanggapi, mengingat, memecahkan soal, menganalisis, atau mengambil keputusan.
8)      Emotional activities (aktivitas emosional), seperti menaruh minat, rasa bosan, gembira, bersemangat, bergairah, atau gugup.

Jadi dengan klasifikasi aktivitas sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa aktivitas di sekolah cukup kompleks dan bervariasi. Kalau berbagai macam kegiatan tersebut dapat diciptakan di sekolah, maka sekolah akan lebih dinamis, tidak membosankan dan benar-benar menjadi pusat aktivitas belajar yang maksimal dan bahkan akan memperlancar peranannya sebagai pusat transfer ilmu pengetahuan teknologi dan transformasi kebudayaan dan nilai-nilai hidup. Kondisi tersebut sebaliknya merupakan tantangan yang menuntut jawaban dari para guru.

B.     Kerangka Pikir
Dalam proses belajar mengajar khususnya bidang studi matematika, sangat memungkinkan ada materi tertentu yang harus disampaikan dengan menggunakan model pembelajaran kelompok, individual dan klasikal. Salah satu model pembela-jaran yang dapat mengintegrasikan pembelajaran kelompok,  individual, dan klasikas sekaligus adalah model pembelajara kooperatif tipe TGT (teams games tournaments).
Kelompok belajar kooperatif adalah kelompok belajar yang terdiri dari murid dengan kemampuan akademik yang bervariasi untuk saling membantu sama lain. Pembelajaran matematika akan lebih baik jika dilaksanakan dengan model pembela-jaran kooperatif, karena di samping keuntungan akademik yang dapat diperoleh murid berupa kemampuan memahami konsep, keterampilan dan pemecahan masalah matematika juga dapat mendorong munculnya refleksi yang mengarah pada konsep-konsep yang aktif, juga murid mendapat pembelajaran yang bersifat sosial.
Oleh karena itu, penggunaan model pembelajaran TGT dapat membantu guru dalam meningkatkan aktivitas belajar siswa. Pembelajaran tipe TGT merupakan model pembelajaran yang memadukan prinsip ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, interaksi tatap muka dan komunikasi. Pembelajaran kooperatif tipe TGT mengharuskan murid memainkan permainan dalam bentuk turnamen, setiap murid mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu tertentu.
Berdasarkan ciri dan prinsip pembelajaran efektif maka tipe TGT dapat mewujudkan perihal pembelajaran tersebut, karena memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi murid untuk memecahkan masalah belajar dengan strategi dan kemampuan masing-masing dan kelompok-nya. Adapun skema kerangka pikirnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.










Gambar 1. Skema Kerangka Pikir
C.    Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka pikir sebelumnya maka hipotesis tindakan dalam penelitian ini adalah: Jika model pembelajaran TGT diterapkan, maka aktivitas belajar murid kelas V SD Inpres Perumnas IV Makassar meningkat.

III. METODE PENELITIAN

A.    Jenis dan Disain Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, karena merupakan metode penelitian yang dianggap mampu menerangkan gejala atau fenomena secara lengkap dan menyeluruh. Hal yang sama dikemukakan Sukmadinata (2006: 94) bahwa “penelitian kualitatif ditujukan untuk memahami fenomena sosial dari sudut atau perspektif partisipan”. Partisipan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang diobservasi atau diminta memberikan data. Di samping itu, penelitian kualitatif menggunakan peneliti sebagai bagian dari instrumen, sebagaimana dikemukakan Sukmadinata (2006: 95) bahwa “peneliti dalam penelitian kualitatif melaksanakan peran sosial interaktif, mereka melakukan pengamatan, interviu, mencatat hasil pengamatan dan interaksi bersama partisipan”.
Adapun jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian tindakan kelas (classroom action research), karena relevan dengan upaya pemecahan masalah pembelajaran. Menurut Arikunto (2008: 3) bahwa “PTK merupakan suatu pencerma-tan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan, yang sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama”. Adapun dalam perspektif tujuan, Umar (2008: 10) menyatakan bahwa “tujuan guru melakukan PTK untuk meningkatkan dan atau perbaikan praktek pembelajaran”.
Sedangkan model PTK yang dipilih adalah model sederhana yang ditawarkan oleh Kurt Lewin (Umar, 2008: 12). Model ini terdiri dari empat komponen dalam satu siklus, yaitu 1) perencanaan, 2) tindakan, 3) observasi dan 4) refleksi. Secara skematik disain PTK model Kurt Lewin dapat dilihat pada gambar 2 berikut.









Gambar 2. Skema Disain PTK

B.     Fokus Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada murid kelas V SD Inpres Perumnas IV Makassar yang difokuskan pada dua aspek yaitu:
1.      Aktivitas belajar murid adalah kegiatan fisik maupun mental yang dilakukan setiap individu dalam usaha memperoleh pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui interaksi edukatif dengan lingkungannya. Indikator aktivitas belajar, antara lain:
  1. Kehadiran dan semangat siswa dalam KBM di kelas sebagai bagian dari aktivitas emosional (emotional activities)
  2. Memperhatikan penjelasan guru sebagai aktivitas visual (visual activities).
  3. Keaktifan berdiskusi sebagai aktivitas lisan (oral activities).
  4. Antusiasme mendengarkan uraian sebagai aktivitas mendengarkan (listening activities).
  5. Menulis atau menyalin informasi yang penting dari guru sebagai aktivitas menulis (writing activities).
  6. Partisipasi dalam kelompok sebagai aktivitas bergerak (motor activities).
  7. Kemampuan memecahkan soal sebagai aktivitas mental (mental activities).
2.      Pembelajaran TGT adalah pembelajaran kooperatif dengan indikator-indikator: pengelompokan murid secara heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda, pemecahan masalah melalui kerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi, terjadi dinamika secara kohesif dan kompak, kompetisi antar kelompok dalam suasana diskusi nyaman dan menyenangkan karena dalam bentuk permainan (games), dan guru bersikap terbuka, ramah, lembut, dan santun.

C. Setting dan Subjek Penelitian
Rencana lokasi penelitian terletak di SD SD Inpres Perumnas IV Kecamatan Rappocini yang berjarak ±  500 M dari Kampus UNM Tidung. Di pilihnya lokasi penelitian ini karena hasil observasi menunjukkan rendahnya hasil belajar matematika, di samping itu tidak efektifnya model pembelajaran yang selama ini dikembangkan. Adapun sasaran/subjek dalam penelitian ini dan keadaan guru di SD. SD Inpres Perumnas IV dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.

Tabel 1. Keadaan Murid SD Inpres Perumnas IV
Kelas
Siswa
Jumlah Siswa
Keterangan
L
P
I
13
17
30

II
16
20
36

III
11
14
25

IV
8
10
18

V
10
15
25

VI
9
8
17

Sumber SD Inpres Perumnas IV tahun 2011
Tabel keadaan Guru dan Pegawai SD Perumnas IV
NO
NAMA
JABATAN/GURU
KELAS
ALAMAT RUMAH
1.

2.
3
4
5
6

7

8
9
10
11
12
13
14
ST.ADRIYANI,S.Pd

HJ.ASNI M.SIRI
YULIANA TIMBONGA
HETI BILA,S.Pd
MERYANTI,S.Pd
ST.MASDARIAH,S.Pd

ASTRAYANA,A.Ma

ST.HALIJAH,S.Pd
ROSNIAR,A.Ma
Drs.MUSTAFA
FITRIANI
NIRWANA NAWIR
 KAMARUDDIN
Kepala sekolah

Guru Kelas I
Guru Kelas II
Guru Kelas II

Guru Kelas III
Guru Kelas IV

Guru Kelas V

Guru Kelas VI
Guru Agama Islam
Guru Penjaskes
Guru Bhs.Inggris
Bujang Sekolah
Satpam
BTN.JENETALLASA BLOK A4/51
R.D.PERUMNAS IV
TIDUNG II NO.2/5
TODDOPULI VI
TIDUNG MARIOLLO’
MON.EMMY SAELAN Lr.5/59A
BTN.JENNETALLASA BLOK A4/51
A.TONRO LR.IVB NO.48
TAMALATE I NO.2
DR.LEIMENA LR.9/109 E
TALLASALAPANG

MON.EMMY SAELAN
MON.EMMY SAELAN

Prosedur PTK
Sesuai dengan jenis penelitian yang dilakukan yakni penelitian tindakan kelas, maka rencana tindakan yang akan dilakukan terdiri atas dua siklus. Di mana setiap siklus dilaksanakan masing-masing dua kali pertemuan. Prosedur kegiatan dalam setiap siklus meliputi perencanaan, tindakan, observasi atau evaluasi dan refleksi. Di mana dalam tahap perencanaan sampai melakukan tindakan terdapat empat langkah utama yang akan dilakukan yaitu: identifikasi masalah, analisis dan perumusan masalah, perencanaan penelitian tindakan kelas, dan melakukan penelitian tindakan kelas. Secara lebih terperinci, prosedur penelitian tindakan pada siklus pertama dapat dijabarkan sebagai berikut:
1.      Perencanaan dan Persiapan
Sebelum pelaksanaan tindakan, dilakukan persiapan berupa penyiapan perangkat pembelajaran diantaranya menelaah silabus dan program pembelajaran, menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), menyiapkan materi pembelajaran, menyiapkan kartu turnamen, menyusun kuisioern persepsi murid, format observasi dan instrumen tes hasil belajar.
2.      Pelaksanaan Tindakan
Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini implementasi tindakan pembelajaran model TGT. Adapun prosedur pelaksanaan tindakan sebagai berikut:
a.       Kegiatan awal
1)      Peneliti memberikan motivasi dan apersepsi serta menyampaikan pengantar tentang tujuan belajar dengan model TGT.
2)      Peneliti menjelaskan prinsip dan aturan-aturan pembelajaran model TGT.
b.      Kegiatan inti
1)      Sebelum permainan dimulai, guru membagi murid ke dalam 5 kelompok asal, di mana tiap kelompok terdiri dari lima orang yang bersifat heterogen.
2)      Guru bersama murid menyusun meja dalam 5 kelompok turnamen kemudian diberi tanda meja I, II, III, IV dan V.
3)      Selanjutnya guru memberikan kesempatan kepada masing-masing kelompok untuk berdiskusi menentukan anggotanya yang ditempatkan pada masing-masing meja turnamen.
4)      Guru menyediakan kartu quiz pada tiap meja turnamen dan mempersilahkan murid untuk menempati meja turnamen.
5)      Turnamen dimulai di mana murid mengambil kartu soal yang telah disediakan pada tiap meja dan mengerjakannya untuk jangka waktu yang telah ditentukan (3 menit). Murid dapat mengerjakan lebih dari satu soal dan hasilnya diperiksa  dan dinilai, sehingga diperoleh skor turnamen untuk tiap individu dan sekaligus skor bagi kelompok asalnya. Murid pada tiap meja tunamen diberi sebutan (gelar) superior, very good, good, medium sesuai dengan skor yang diperolehnya.
6)      Bumping, pada turnamen kedua (turnamen ketiga dan seterusnya), dilakukan pergeseran tempat duduk pada meja turnamen sesuai dengan sebutan gelar tadi, murid superior dikelompokkan dalam meja turnamen yang sama, begitu pula untuk meja turnamen yang lainnya diisi oleh murid dengan gelar yang sama.
7)      Setelah selesai hitunglah skor untuk tiap kelompok asal dan skor individual, berikan penghargaan terhadap kelompok dan individu murid.
c.       Kegiatan akhir
1)      Peneliti bersama murid membuat kesimpulan terhadap materi yang telah dipelajari.
2)      Pada akhir siklus pertama peneliti memberikan tes evaluasi hasil belajar dan peneliti memberikan kepada murid kuisioner persepsi.
3.      Observasi
Selama pelaksanaan tindakan, maka dilakukan pemantauan terhadap aktivitas  murid sekaligus mengamati tindakan guru dengan menggunakan format observasi. Untuk memudahkan pelaksanaannya peneliti dibantu oleh teman sejawat dalam mengamati kegiatan yang berlangsung sambil mengisi daftar observasi yang telah disiapkan.


4.      Refleksi
Peneliti bersama dengan teman sejawat melakukan diskusi dan refleksi pada akhir siklus terhadap hal-hal yang diperoleh baik dari hasil observasi, hasil kuisioner persepsi murid maupun hasil tes siklus satu. Kekurangan-kekurangan yang terjadi pada siklus pertama akan diperbaiki pada siklus selanjutnya.
Siklus kedua dilakukan dengan tetap mengacu pada prosedur kegiatan yang sama pada siklus pertama. Hanya saja, pada siklus kedua dilakukan revisi tindakan yang berbeda dengan siklus pertama. Revisi tindakan senantiasa bertolak pada upaya perbaikan atau koreksi terhadap kekurangan yang diperoleh pada siklus pertama. Hal ini dilakukan untuk mencapai hasil yang lebih maksimal sebagaimana diharapkan.
E.     Teknik dan Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Observasi
Teknik observasi yang dipilih karena sesuai dengan obyek yang dinilai yakni perilaku atau aktivitas murid dalam pembelajaran, sebagaimana dikemukakan Safari (2003: 53) bahwa “pengamatan merupakan suatu alat penilaian yang pengisiannya dilakukan guru atas dasar pengamatan terhadap perilaku murid”. Instrumen pengamatan yang digunakan berupa lembar observasi model checklist (√), yang dikembangkan sendiri oleh peneliti (lembar observasi terlampir).
2.      Tes
Teknik tes dipilih untuk mengukur hasil belajar kognitif murid, sebagaimana dikemukakan Sudjana, N. (1995: 35) bahwa “tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar murid, terutama hasil belajar kognitif berkenaan dengan penguasaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pengajaran”. Tes yang diberikan dalam bentuk tertulis model isian (lembar tes dan LKS terlampir).
3.      Kuisioner
Teknik kuisioner yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah kuisioner persepsi yang dimaksudkan untuk mengetahui persepsi atau tanggapan murid terhadap model pembelajaran TGT yang dikembangkan apakah menyenangkan bagi mereka atau tidak.
Adapun prosedur pengumpulan dan pengolahan data, sebagai berikut:
1.      Perizinan penelitian
Pengurusan perizinan dilakukan pada lembaga-lembaga yang terkait dalam hal ini FIP UNM, Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah (BALITBANGDA) Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Kesbang/Linmas Kabupaten Luwu, dan izin penelitian data dari Kepala SD Inpres Perumnas IV Makassar.
2.      Pelaksanakan pengumpulan data, di mana data aktivitas belajar murid diperoleh selama pembelajaran berlangsung melalui observasi, sedangkan data hasil belajar untuk kemampuan kognitif diperoleh dengan memberikan tes evaluasi pada akhir siklus, dan data persepsi atau tanggapan murid diperoleh pada akhir siklus.



3.   Pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Verifikasi data, dimaksudkan untuk menyeleksi atau memilih data yang memadai untuk diolah dengan cara memeriksa kelengkapan pengisian lembar tes maupun kuisioner baik identitas maupun jawabannya.
  2. Scoring, dimaksudkan untuk memberi skor atas jawaban murid pada instrumen tes yang telah diisi oleh murid.
  3. Tabulating, dimaksudkan untuk memudahkan dalam pengolahan dan analisis data lebih lanjut, terlebih dahulu data dimasukkan dengan menggunakan tabel.
F.     Teknik Analisis Data dan Indikator Keberhasilan
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kuantitatif deskriptif. Di mana untuk menghitung nilai rata-rata hasil tes dan persentase aktivitas murid, maka digunakan persamaan-persamaan sebagai berikut:
1.      Mencari rata-rata hitung sebagaimana dalam Tiro, (1999: 138):
 ..................................................... (1)
Keterangan:
*  = Nilai rata-rata hitung
X   = Nilai hasil tes murid
n    = Jumlah murid
2.      Persentase skor pencapaian, sebagaimana dalam Sugiyono, (2001: 40):
 …........................................... (2)
Keterangan:
P    =  Persentase
f     =  Frekuensi
n    =  Jumlah sampel/responden
Indikator keberhasilan adalah jika nilai akhir tes hasil belajar murid telah memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang berlaku di SD Inpres Perumnas IV. Kemudian untuk mengukur tingkat hasil belajar ke dalam skala deskriptif, maka digunakan norma absolut skala lima sebagai pedoman sebagaimana dalam Safari (2003: 78):
1.      Hasil belajar dikategorikan sangat tinggi (A) dengan nilai 8,5–10.
2.      Hasil belajar dikategorikan tinggi (B) dengan nilai 7,0–8,4.
3.      Hasil belajar dikategorikan cukup (C) dengan nilai 5,5–6,9.
4.      Hasil belajar dikategorikan kurang (D) dengan nilai 4,0–5,4.
5.      Hasil belajar dikategorikan sangat kurang (E) dengan nilai 0,0–3,9.
Sedangkan pengukuran persentase aktivitas belajar murid dalam skala deskriptif mengacu pada Safari (2003: 54), yakni:
1.      Aktivitas belajar dikategorikan sangat baik (A) dengan persentase 85%–100%.
2.      Aktivitas belajar dikategorikan baik (B) dengan persentase 70%–84%.
3.      Aktivitas belajar dikategorikan cukup (C) dengan persentase 55%–69%.
4.      Aktivitas belajar dikategorikan kurang (D) dengan persentase 40%–54%.
5.      Aktivitas belajar dikategorikan sangat kurang (E) dengan persentase 0%–39%.

IV. JADWAL PELAKSANAAN PENELITIAN
Tabel 3. Rencana Jadwal Pelaksanaan PTK
No
Jenis Kegiatan
Waktu Pelaksanaan / Minggu
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
A.
Persiapan












1.
Pendekatan/monitoring












2.
Penyusunan proposal












3.
Pengembangan instrumen












            Lanjutan Tabel 3.

4.
Perizinan












5.
Pertemuan awal dengan Teman Sejawat dan Kep. Sekolah












B.
Pelaksanaan PTK












1.
Pelaksanaan Siklus I












2.
Penyusunan Draft Laporan Siklus I












3.
Pelaksanaan Siklus II












4.
Penyusunan Draft Laporan Siklus II












5.
Penyempurnaan akhir laporan












C.
Evaluasi Hasil PTK












1.
Seminar hasil PTK












2.
Revisi dan penggandaan












3.
Copy master (Burning CD)
























V. DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Cetakan Pertama. Jakarta: PT. Rineka Cipta dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Arikunto, S., Supardi, & Suhardjono. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Cetakan Kelima. Jakarta: Bumi Aksara.

Anonim, 2007. Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) Tahun 2003. Cetakan Keempat. Jakarta: Sinar Grafika.

Isjono. 2007. Cooperative Learning. Bandung: Alfabeta.

Muslich, M. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara.

Muslimin & Umar, A. 2008. Panduan Penulisan Skripsi. Makassar: Prodi PGSD FIP UNM.

Saco. 2006. Cooperatif Learning. (online). (http://fromlearningftoteaching. blogspot.com. diakses 17 Oktober 2008).

Sanjaya, W. 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana Media Group.

Safari, 2003. Evaluasi Pembelajaran. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Tenaga Kependidikan.

Sofa. 2008. Kupas Tuntas Metode Penelitian Kualitatif. (Online). http//www.pakdesofa.blogspot.com., (diakses tanggal 07 Juli 2009).

Sudjana, N. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Cetakan Kelima. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. 2009. Model Belajar dan Pembelajaran Berorientasi Kompetensi Murid. Educare; Jurnal Pendidikan dan Budaya. ISSN 1412-579x, (Online) http://educare.e-fkipunla.net, (diakses tanggal 30 Juni 2009).

Sukmadinata, N.S. 2006. Metode Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya.

Suradi. 2002. Pemilihan Model-model Pembelajaran dan Penerapannya di Sekolah. Semarang: Pendidikan Matematika FMIPA UNNES.

Tiro, M.A. 1999. Dasar-dasar Statistika. Ujung Pandang: Badan Penerbit UNM.

________. 2007. Menulis Karya Ilmiah untuk Pengembangan Profesi Guru. Makassar: Andira Publisher.

Umar, A. 2008. Penelitian Tindakan Kelas: Pengantar Ke Dalam Pemahaman Konsep dan Aplikasi. Makassar: Badan Penerbit UNM.

Warsita, B. 2008. Teknologi Pembelajaran; Landasan dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.